Sabtu, 03 Januari 2009

Renungan untuk episode kehidupan tahun 2009

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Begitu cepatnya waktu berlalu, kini kita berada di awal tahun 2009 masehi. Beberapa hari sebelumnya, jiwa dan raga kita juga baru merasakan awal tahun 1430 Hijriah. Alhamdulillaah!. Sebagai seorang muslim yang baik, sudah sepantasnya kita syukuri sebagai karunia nikmat yang luar biasa: diberikan usia panjang, kesehatan yang prima, dan berbagai prestasi yang diraih selama setahun silam. Semua nikmat tersebut akan terasa bermakna bila hidup ini kita sumbangkan pula untuk sesama melalui berbagai aksi sosial maupun intelektual.

Bermuhasabah itulah yang seyogyanya kita lakukan. Sepantasnya, kita kaum muslimin melihat sejenak ke belakang sebagai bahan evaluasi akhir tahun; Apa yang sudah kita lakukan setahun yang lalu? sudahkah melihat hasilnya yang signifikan dan secara moral dapat dinikmati oleh umat di sekitar kita, paling tidak oleh keluarga kita sebagai lingkungan sosial dalam skala mikro? Adakah kita berkorban harta, pikiran, tenaga bahkan diri kita sebagai sarana penghambaan diri dan perjuangan di jalan Allaah untuk menggapai kemuliaan Islam dan kaum muslimin? Menghitung segala keberhasilan dan kegagalan, kebajikan maupun keburukan sikap, ucapan, dan tindakan, merupakan cara terbaik untuk melihat diri sendiri dengan apa adanya. Introspeksi diri belakangan ini merupakan barang yang teramat mahal, di saat banyak orang terlena dengan gegap gempita membahas berbagai persoalan masyarakat yang kian bersyarat.

Sering kita berfikir mengibaratkan hidup ini mengalir seperti air, yang mencari celah-celah jalan meskipun berliku dan berlubang. Dalam kondisi demikian, hidup biasanya memilih alur sendiri, tanpa konsep, rencana, dan tanpa target yang jelas. Padahal Allaah selalu menegaskan agar kita selalu merancang masa depan dengan penuh makna [59:18]: ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’

Dari ayat yang dibacakan tadi, ada beberapa hal yang patut kita catat. Pertama, kata-kata taqwa dalam ayat tersebut dimunculkan sebanyak dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa bekal yang utama dalam menghadapi masa depan adalah bekal taqwa, bersegera memanfaatkan waktu untuk mengerjakan perbuatan yang diperintahkan dan menjauhi perbuatan yang dibenci Allaah swt. Kedua, setiap diri hendaknya membuat suatu planning masa depan, tetapi tetap jangan meninggalkan histori masa lalu sebagai bekal untuk berintrospeksi atau muhasabah. Ketiga, setiap diri hendaknya mengetahui bahwa segala perbuatannya senantiasa dimonitor oleh Allaah swt, tidak ada sedikitpun yang dapat disembunyikan oleh makhluqnya.

Pada saat yang sama, kita juga meyakini bahwa Allaah adalah sebaik-baik perencana [3:54]: ‘Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.’

Lalu dimana titik awal muhasabah tadi? Agak sulit mencarinya bila hidup ini seperti air. Tak ada indikator, parameter atau benchmark (tolok ukur) yang bisa menjadi pembanding sedemikian rupa sehingga kita tahu dengan jelas apakah ada perkembangan positif atau sebaliknya, justru mundur sekian langkah. Bila demikian, muhasabah tentunya akan sia-sia, tak ada ujung pangkalnya.
Lebih sia-sia lagi bila hidup ini kita isi dengan karya-karya yang diperuntukkan hanya untuk diri sendiri. Tak ada manfaatnya buat orang lain. Sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam kerja sama sosial, saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta kesamaan visi dalam mengelola umat. Padahal Rasulullaah pernah bersabda,`Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi sesamanya`.

Karena itu tak berlebihan kiranya apabila kita bersiap diri dalam menghadapi tahun-tahun mendatang dengan rencana yang matang. Plan your work, work your plan. Bila tidak, kehidupan kita ini tak akan lebih dari sebuah tombol lampu; hidup atau mati. Terlalu banyak seperti itu. Sebab itu pula ummat Islam tak pernah maju.

Waktu adalah kehidupan. Untung dan rugi, bahagia dan menderitanya manusia tergantung pada bagaimana manusia memanfaatkan waktunya. Barangsiapa yang memanfaatkan waktu untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaanya dengan berbuat kebajikan dan beribadah kepada Allaah swt, maka pasti ia beruntung dan berbahagia hidupnya dunia dan akhirat. Tetapi, barangsiapa yang menggunakan waktunya dengan perbuatan sia-sia, bahkan mengisinya dengan dosa dan maksiat kepada Allaah, maka ia rugi dan celaka hidupnya [25:62,89:1-2]. Rasulullaah saw bersabda: ‘Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara: waktu hidupmu sebelum datang kematianmu, waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu, waktu mudamu sebelum datang udzurmu,dan waktu kayamu sebelum datang kefakiranmu’ (r. Baihaqi dan Haakim, disahkan oleh AlBani).

Alghazali rahimahullaah berkata,`Anak Adam itu, badannya diibaratkan seperti jaring yang dia gunakan untuk mencari amal shalih. Apabila ia telah mendapatkan kebaikan, kemudian ia mati maka cukuplah baginya, dan ia tidak membutuhkan lagi jaring tersebut, yaitu badannya yang telah dia tinggalkan setelah dirinya mati. Tidak diragukan lagi bahwa jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah keinginan syahwatnya terhadap dunia, sedang dirinya hanya menginginkan amal shalih karena amal shalih adalah bekal di alam kubur. Apabila ia punya amal shalih, maka ia pun tidak butuh apa-apa lagi. Namun, apabila ia tidak mempunyai amal shalih, maka ia ingin kembali ke dunia lagi untuk mencari bekal, padahal jaringnya telah diambil darinya. Kemudian dikatakan kepadanya: Amat jauh karena telah terlambat. Akhirnya ia pun hanya bingung dan menyesal selamanya karena dahulu ia mengabaikan dalam mencari bekal sebelum jaringnya dicabut darinya. Oleh karena itu Rasulullaah saw bersabda: Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari pertolongan Allaah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.`

Waktu itu memiliki karakteristik istimewa yang kita wajib mengetahuinya agar dapat mempergunakannya sesuai dengan tuntutan syariat. Diantara karakteristik waktu adalah sebagai berikut. Pertama, ia cepat berlalu, habis tak terasa. Perputaran waktu begitu cepat laksana awan dan lari bagaikan angin. Orang bilang, di saat hati suka dan gembira, waktu tak terasa. Tetapi, di saat hati gelisah sedih menderita, waktu terasa lamban. Sebenarnya ini hanyalah perasaan belaka karena pada hakikatnya adalah sama. Manusia sekalipun diberi umur panjang, ia tidak akan pernah puas, bahkan mungkin ia anggap kehidupannya itu hanya beberapa jam saja [79:46]:’ Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.‘

Kedua, waktu yang berlalu tak akan kembali dan tidak dapat diganti. Waktu kemarin, saat ini, dan mendatang, mereka akan mencatat masing-masing suatu episode yang berbeda dari kehidupan seorang manusia.

Ketiga, waktu adalah modal terbaik dan termahal bagi manusia. Karena waktu berlalu begitu cepat, maka waktu merupakan modal yang lebih berharga daripada emas, berlian, intan atau yang semacamnya. Manusia yang tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik hingga ajal menjemputnya akan sangat menyesal dan ia akan memohon kepada Allaah swt agar diberi tambahan waktu sedetik dua detik agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kembali perbuatannya. Tetapi semuanya tidak ada gunanya, sebagaimana Allaah berfirman [63:10-11]:’ Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" (10). Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (11).’

Jelaslah di sini bahwa kita perlu memiliki perhatian khusus pada pemanfaatan waktu ini. Diantara kewajiban-kewajiban seorang muslim terhadap waktu antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, bersemangat memanfaatkannya untuk kebaikan. Abdullaah ibnu Masud ra berkata:`Saya tidak menyesali sesuatu seperti penyesalanku terhadap suatu hari yang telah terbenam mataharinya, sedangkan ajalku berkurang (waktu hidupnya berkurang) dan amalku tidak bertambah`. Shahabat lainnya berkata,`Setiap hari yang melewati diriku, sedangkan aku tidak dapat menambah ilmu yang mendekatkan diriku kepada Allaah, maka berarti diriku tidak punya keberkahan di hari itu`. Imam Syafi`i rahimahullaah membagi waktu menjadi 3 bagian, sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk shalat malam, dan sepertiga lagi untuk tidur. Seorang muslim hendaknya senantiasa memelihara semangat meningkatkan kualitas aktifitasnya: Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Kedua, mempergunakan waktu luang untuk aktifitas yang bermanfaat. Alfaraag adalah waktu kosong dari kesibukan-kesibukan dan rintangan-rintangan yang menghalangi seseorang mengerjakan amal shalih. Rasulullaah saw bersabda, ‘Ada dua kenikmatanyang kebanyakan manusia melalaikannya: nikmat sehat dan nikmat waktu luang (HR Bukhari). Waktu luang tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena barangsiapa yang tidak menyibukan dirinya dengan kebaikan, pastilah ia akan disibukkan dengan keburukan.

Ketiga, manfaatkan waktu untuk berlomba-lomba meraih kebaikan, dan meraih ampunan Allaah swt.

Keempat, mengatur waktu secara seimbang. Seorang muslim hendaknya mengatur waktu secara tawazun (seimbang), antara urusan aqal, jasad, dan ruhaninya, karena keseimbangan waktu merupakan sunnah Nabi. Rasulullaah saw menegur dengan teguran yang keras kepada mereka yang tidak seimbang dalam pembagian waktunya: ‘ Kamukah yang telah berkata (saya akan shalat malam terus menerus, saya akan puasa selamanya, dan saya akan menjauhi wanita?). Demi Allaah, Aku adalah orang yang paling takut kepada Allaah, bahkan Aku orang yang paling taqwa kepadaNya, tetapi aku bershaum juga berbuka, Aku shalat malam tapi Aku juga tidur dan aku juga nikah. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku, bukanlah ia golonganku.’

Waktu dapat kita bagi menjadi tiga bagian: waktu lalu yang suda lewat tinggal kenangan dan masih terdapat pertanggungjawabannya, waktu esok yang masih tersembunyi, apakah kita masih hidup di waktu itu atau tidak? waktu esok ini bersifat ghaib, dan waktu sekarang yang harus dihadapi dengan penuh semangat, giat, dan bersungguh-sungguh menaati Allaah dan menjauhi hawa nafsu syaitan. Oleh karenanya, hendaknya kita waspada kepada hal-hal yang dapat menghancurkan dan menodai kualitas waktu kita.

Hal pertama yang dapat menghancurkan kualitas waktu kita adalah sifat lalai. Lalai adalah salahsatu sifat yang menimpa aqal dan hati manusia, sehingga ia hilang kesadarannya terhadap kejadian-kejadian yang dihadapinya, hanya memperhatikan bentuk lahirnya saja tanpa memperhatikan makan yang terkandung. Alquran telah banyak memperingatkan agar kita menjauhi kelalaian, sebab kelalaian itu dapat menjerumuskan manusia kepada neraka jahannam [7:179]:’Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.’

Hal kedua yang dapat menghancurkan kualitas waktu kita adalah sifat menunda-nunda waktu. Suka menunda pekerjaan adalah perbuatan tidak baik, karena tidak ada jaminan kalau kita masih bertemu dengan hari esok, dan juga jika esok harinya kita masih hidup tidak ada jaminan juga bahwa kita selamat dari kesibukan-kesibukan baru.

Dalam menjalani sisa waktu kita hidup di dunia ini, mari kita renungkan sebuah nasihat yang telah disampaikan oleh Rasulullaah saw berikut ini.

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullaah saw pernah memegang pundakku, lalu beliau bersabda,`Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau pengembara`(HR Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dll).

Dalam hadits tadi Rasulullaah saw memegang pundak Ibnu Umar, dengan maksud agar Ibnu Umar segera mempersiapkan perhatiannya untuk menghafal sesuatu yang sangat penting dari apa yang Nabi saw sabdakan. Kata ghariibun artinya orang yang tinggal di negeri orang lain, sedangkan `abiru sabil artinya orang yang lewat di suatu negeri dalam keadaan berjalan dan musafir. Orang-orang seperti ini, yaitu orang asing dan pengembara, biasanya mereka tidak menjadikan negeri yang dilaluinya sebagai tanah air dan tempat tinggal menetap. Maksud yang terkandung dalam hadits ini adalah janganlah kita cenderung menjadikan dunia ini segalanya, berlakulah seperti orang asing atau pengembara yang tidak akan selamanya tinggal di negeri yang bukan tempat tinggalnya, ia akan pergi darinya dan kembali kepada keluarganya. Ini adalah makna ucapan Salman AlFarisi: Kekasihku Nabiyallaah, memerintahku agar aku tidak mengambil dari dunia ini kecuali hanya seperti bekal orang yang bepergian.

Seorang musafir berpayah-payah bepergian tentunya ia memiliki tujuan. Pakaiannya koyak diterpa debu,panas, hujan, dan tiupan angin, namun ia selalu bangkit dan tetap berjalan tegak, semua itu tidak mebuatnya gerah apalagi menyerah. Wajahnya cerah karena tujuannya tergambarkan jelas dihadapan keyakinannya kepada ketetapan Sang Maha Pencipta yang tidak pernah salah [79:44]:’ KepadaRabbmulah kesudahan’. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, almuntaha itu adalah tempat kembali pada hari Qiyamat.

Tujuan seorang musafir tidak akan pernah tercapai jikalau ia lalai terhadap petunjuk atau pedoman perjalanannya. Petunjuk ini merupakan kebutuhan mutlak bagi si musafir. Bila petunjuk ini menjadi panduan, rasa aman akan mengiringi langkah sang musafir. Jika petunjuk menjadi acuan niscaya harapan menjadi kenyataan. Demikian pula dengan kehidupan kita, barangsiapa yang mengikuti petunjuk Allaah, tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Mungkinkah si musafir dapat survive tanpa perbekalan yang cukup? Bisakah tercapai tujuan musafir tanpa kekuatan bekal, padahal perjalanannya itu berat penuh tantangan dan rintangan? Tentunya tidak! Ingatlah sebaik-baik bekal bagi musafir adalah taqwa.

Setiap insan diciptakan pasti membawa kelemahan. Secermat-cermat orang pasti ia pernah salah alamat. Sepandai-pandainya orang pasti ia pernah lalai. Sehati-hatinya seseorang pasti ia pernah ceroboh menyakiti. Di sinilah seorang musafir memerlukan teman yang tulus hati mengingatkan, mengulurkan bantuan yang diperlukan. Teman inilah pemberi inisiatif di kala fikiran sedang tidak aktif, penyuguh suka di kala hati sedang berduka. Berbahagialah sang musafir bila akrab dengan teman seperi ini: ‘Dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti’.

Akhirnya, kepada Allaah lah memohon agar kita dapat memanfaatkan waktu-waktu yang kita jalani dengan sesuatu yang berguna untuk kehidupan dunia dan akhirat kita. Mudah-mudahan, di tahun 2009 kualitas amal kita semakin meningkat. Aamiin.

Wassalaam,
I Do Y
C'mindi, Januari 2009