Sabtu, 03 Januari 2009

Renungan untuk episode kehidupan tahun 2009

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Begitu cepatnya waktu berlalu, kini kita berada di awal tahun 2009 masehi. Beberapa hari sebelumnya, jiwa dan raga kita juga baru merasakan awal tahun 1430 Hijriah. Alhamdulillaah!. Sebagai seorang muslim yang baik, sudah sepantasnya kita syukuri sebagai karunia nikmat yang luar biasa: diberikan usia panjang, kesehatan yang prima, dan berbagai prestasi yang diraih selama setahun silam. Semua nikmat tersebut akan terasa bermakna bila hidup ini kita sumbangkan pula untuk sesama melalui berbagai aksi sosial maupun intelektual.

Bermuhasabah itulah yang seyogyanya kita lakukan. Sepantasnya, kita kaum muslimin melihat sejenak ke belakang sebagai bahan evaluasi akhir tahun; Apa yang sudah kita lakukan setahun yang lalu? sudahkah melihat hasilnya yang signifikan dan secara moral dapat dinikmati oleh umat di sekitar kita, paling tidak oleh keluarga kita sebagai lingkungan sosial dalam skala mikro? Adakah kita berkorban harta, pikiran, tenaga bahkan diri kita sebagai sarana penghambaan diri dan perjuangan di jalan Allaah untuk menggapai kemuliaan Islam dan kaum muslimin? Menghitung segala keberhasilan dan kegagalan, kebajikan maupun keburukan sikap, ucapan, dan tindakan, merupakan cara terbaik untuk melihat diri sendiri dengan apa adanya. Introspeksi diri belakangan ini merupakan barang yang teramat mahal, di saat banyak orang terlena dengan gegap gempita membahas berbagai persoalan masyarakat yang kian bersyarat.

Sering kita berfikir mengibaratkan hidup ini mengalir seperti air, yang mencari celah-celah jalan meskipun berliku dan berlubang. Dalam kondisi demikian, hidup biasanya memilih alur sendiri, tanpa konsep, rencana, dan tanpa target yang jelas. Padahal Allaah selalu menegaskan agar kita selalu merancang masa depan dengan penuh makna [59:18]: ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’

Dari ayat yang dibacakan tadi, ada beberapa hal yang patut kita catat. Pertama, kata-kata taqwa dalam ayat tersebut dimunculkan sebanyak dua kali. Hal ini menunjukkan bahwa bekal yang utama dalam menghadapi masa depan adalah bekal taqwa, bersegera memanfaatkan waktu untuk mengerjakan perbuatan yang diperintahkan dan menjauhi perbuatan yang dibenci Allaah swt. Kedua, setiap diri hendaknya membuat suatu planning masa depan, tetapi tetap jangan meninggalkan histori masa lalu sebagai bekal untuk berintrospeksi atau muhasabah. Ketiga, setiap diri hendaknya mengetahui bahwa segala perbuatannya senantiasa dimonitor oleh Allaah swt, tidak ada sedikitpun yang dapat disembunyikan oleh makhluqnya.

Pada saat yang sama, kita juga meyakini bahwa Allaah adalah sebaik-baik perencana [3:54]: ‘Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.’

Lalu dimana titik awal muhasabah tadi? Agak sulit mencarinya bila hidup ini seperti air. Tak ada indikator, parameter atau benchmark (tolok ukur) yang bisa menjadi pembanding sedemikian rupa sehingga kita tahu dengan jelas apakah ada perkembangan positif atau sebaliknya, justru mundur sekian langkah. Bila demikian, muhasabah tentunya akan sia-sia, tak ada ujung pangkalnya.
Lebih sia-sia lagi bila hidup ini kita isi dengan karya-karya yang diperuntukkan hanya untuk diri sendiri. Tak ada manfaatnya buat orang lain. Sama sekali tidak mempunyai kontribusi dalam kerja sama sosial, saling tolong menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta kesamaan visi dalam mengelola umat. Padahal Rasulullaah pernah bersabda,`Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling berguna bagi sesamanya`.

Karena itu tak berlebihan kiranya apabila kita bersiap diri dalam menghadapi tahun-tahun mendatang dengan rencana yang matang. Plan your work, work your plan. Bila tidak, kehidupan kita ini tak akan lebih dari sebuah tombol lampu; hidup atau mati. Terlalu banyak seperti itu. Sebab itu pula ummat Islam tak pernah maju.

Waktu adalah kehidupan. Untung dan rugi, bahagia dan menderitanya manusia tergantung pada bagaimana manusia memanfaatkan waktunya. Barangsiapa yang memanfaatkan waktu untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaanya dengan berbuat kebajikan dan beribadah kepada Allaah swt, maka pasti ia beruntung dan berbahagia hidupnya dunia dan akhirat. Tetapi, barangsiapa yang menggunakan waktunya dengan perbuatan sia-sia, bahkan mengisinya dengan dosa dan maksiat kepada Allaah, maka ia rugi dan celaka hidupnya [25:62,89:1-2]. Rasulullaah saw bersabda: ‘Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara: waktu hidupmu sebelum datang kematianmu, waktu sehatmu sebelum datang sakitmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu, waktu mudamu sebelum datang udzurmu,dan waktu kayamu sebelum datang kefakiranmu’ (r. Baihaqi dan Haakim, disahkan oleh AlBani).

Alghazali rahimahullaah berkata,`Anak Adam itu, badannya diibaratkan seperti jaring yang dia gunakan untuk mencari amal shalih. Apabila ia telah mendapatkan kebaikan, kemudian ia mati maka cukuplah baginya, dan ia tidak membutuhkan lagi jaring tersebut, yaitu badannya yang telah dia tinggalkan setelah dirinya mati. Tidak diragukan lagi bahwa jika seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah keinginan syahwatnya terhadap dunia, sedang dirinya hanya menginginkan amal shalih karena amal shalih adalah bekal di alam kubur. Apabila ia punya amal shalih, maka ia pun tidak butuh apa-apa lagi. Namun, apabila ia tidak mempunyai amal shalih, maka ia ingin kembali ke dunia lagi untuk mencari bekal, padahal jaringnya telah diambil darinya. Kemudian dikatakan kepadanya: Amat jauh karena telah terlambat. Akhirnya ia pun hanya bingung dan menyesal selamanya karena dahulu ia mengabaikan dalam mencari bekal sebelum jaringnya dicabut darinya. Oleh karena itu Rasulullaah saw bersabda: Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari pertolongan Allaah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.`

Waktu itu memiliki karakteristik istimewa yang kita wajib mengetahuinya agar dapat mempergunakannya sesuai dengan tuntutan syariat. Diantara karakteristik waktu adalah sebagai berikut. Pertama, ia cepat berlalu, habis tak terasa. Perputaran waktu begitu cepat laksana awan dan lari bagaikan angin. Orang bilang, di saat hati suka dan gembira, waktu tak terasa. Tetapi, di saat hati gelisah sedih menderita, waktu terasa lamban. Sebenarnya ini hanyalah perasaan belaka karena pada hakikatnya adalah sama. Manusia sekalipun diberi umur panjang, ia tidak akan pernah puas, bahkan mungkin ia anggap kehidupannya itu hanya beberapa jam saja [79:46]:’ Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.‘

Kedua, waktu yang berlalu tak akan kembali dan tidak dapat diganti. Waktu kemarin, saat ini, dan mendatang, mereka akan mencatat masing-masing suatu episode yang berbeda dari kehidupan seorang manusia.

Ketiga, waktu adalah modal terbaik dan termahal bagi manusia. Karena waktu berlalu begitu cepat, maka waktu merupakan modal yang lebih berharga daripada emas, berlian, intan atau yang semacamnya. Manusia yang tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik hingga ajal menjemputnya akan sangat menyesal dan ia akan memohon kepada Allaah swt agar diberi tambahan waktu sedetik dua detik agar ia diberi kesempatan untuk memperbaiki kembali perbuatannya. Tetapi semuanya tidak ada gunanya, sebagaimana Allaah berfirman [63:10-11]:’ Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?" (10). Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (11).’

Jelaslah di sini bahwa kita perlu memiliki perhatian khusus pada pemanfaatan waktu ini. Diantara kewajiban-kewajiban seorang muslim terhadap waktu antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, bersemangat memanfaatkannya untuk kebaikan. Abdullaah ibnu Masud ra berkata:`Saya tidak menyesali sesuatu seperti penyesalanku terhadap suatu hari yang telah terbenam mataharinya, sedangkan ajalku berkurang (waktu hidupnya berkurang) dan amalku tidak bertambah`. Shahabat lainnya berkata,`Setiap hari yang melewati diriku, sedangkan aku tidak dapat menambah ilmu yang mendekatkan diriku kepada Allaah, maka berarti diriku tidak punya keberkahan di hari itu`. Imam Syafi`i rahimahullaah membagi waktu menjadi 3 bagian, sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk shalat malam, dan sepertiga lagi untuk tidur. Seorang muslim hendaknya senantiasa memelihara semangat meningkatkan kualitas aktifitasnya: Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Kedua, mempergunakan waktu luang untuk aktifitas yang bermanfaat. Alfaraag adalah waktu kosong dari kesibukan-kesibukan dan rintangan-rintangan yang menghalangi seseorang mengerjakan amal shalih. Rasulullaah saw bersabda, ‘Ada dua kenikmatanyang kebanyakan manusia melalaikannya: nikmat sehat dan nikmat waktu luang (HR Bukhari). Waktu luang tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena barangsiapa yang tidak menyibukan dirinya dengan kebaikan, pastilah ia akan disibukkan dengan keburukan.

Ketiga, manfaatkan waktu untuk berlomba-lomba meraih kebaikan, dan meraih ampunan Allaah swt.

Keempat, mengatur waktu secara seimbang. Seorang muslim hendaknya mengatur waktu secara tawazun (seimbang), antara urusan aqal, jasad, dan ruhaninya, karena keseimbangan waktu merupakan sunnah Nabi. Rasulullaah saw menegur dengan teguran yang keras kepada mereka yang tidak seimbang dalam pembagian waktunya: ‘ Kamukah yang telah berkata (saya akan shalat malam terus menerus, saya akan puasa selamanya, dan saya akan menjauhi wanita?). Demi Allaah, Aku adalah orang yang paling takut kepada Allaah, bahkan Aku orang yang paling taqwa kepadaNya, tetapi aku bershaum juga berbuka, Aku shalat malam tapi Aku juga tidur dan aku juga nikah. Maka barangsiapa yang membenci sunnahku, bukanlah ia golonganku.’

Waktu dapat kita bagi menjadi tiga bagian: waktu lalu yang suda lewat tinggal kenangan dan masih terdapat pertanggungjawabannya, waktu esok yang masih tersembunyi, apakah kita masih hidup di waktu itu atau tidak? waktu esok ini bersifat ghaib, dan waktu sekarang yang harus dihadapi dengan penuh semangat, giat, dan bersungguh-sungguh menaati Allaah dan menjauhi hawa nafsu syaitan. Oleh karenanya, hendaknya kita waspada kepada hal-hal yang dapat menghancurkan dan menodai kualitas waktu kita.

Hal pertama yang dapat menghancurkan kualitas waktu kita adalah sifat lalai. Lalai adalah salahsatu sifat yang menimpa aqal dan hati manusia, sehingga ia hilang kesadarannya terhadap kejadian-kejadian yang dihadapinya, hanya memperhatikan bentuk lahirnya saja tanpa memperhatikan makan yang terkandung. Alquran telah banyak memperingatkan agar kita menjauhi kelalaian, sebab kelalaian itu dapat menjerumuskan manusia kepada neraka jahannam [7:179]:’Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.’

Hal kedua yang dapat menghancurkan kualitas waktu kita adalah sifat menunda-nunda waktu. Suka menunda pekerjaan adalah perbuatan tidak baik, karena tidak ada jaminan kalau kita masih bertemu dengan hari esok, dan juga jika esok harinya kita masih hidup tidak ada jaminan juga bahwa kita selamat dari kesibukan-kesibukan baru.

Dalam menjalani sisa waktu kita hidup di dunia ini, mari kita renungkan sebuah nasihat yang telah disampaikan oleh Rasulullaah saw berikut ini.

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata: Rasulullaah saw pernah memegang pundakku, lalu beliau bersabda,`Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau pengembara`(HR Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah dll).

Dalam hadits tadi Rasulullaah saw memegang pundak Ibnu Umar, dengan maksud agar Ibnu Umar segera mempersiapkan perhatiannya untuk menghafal sesuatu yang sangat penting dari apa yang Nabi saw sabdakan. Kata ghariibun artinya orang yang tinggal di negeri orang lain, sedangkan `abiru sabil artinya orang yang lewat di suatu negeri dalam keadaan berjalan dan musafir. Orang-orang seperti ini, yaitu orang asing dan pengembara, biasanya mereka tidak menjadikan negeri yang dilaluinya sebagai tanah air dan tempat tinggal menetap. Maksud yang terkandung dalam hadits ini adalah janganlah kita cenderung menjadikan dunia ini segalanya, berlakulah seperti orang asing atau pengembara yang tidak akan selamanya tinggal di negeri yang bukan tempat tinggalnya, ia akan pergi darinya dan kembali kepada keluarganya. Ini adalah makna ucapan Salman AlFarisi: Kekasihku Nabiyallaah, memerintahku agar aku tidak mengambil dari dunia ini kecuali hanya seperti bekal orang yang bepergian.

Seorang musafir berpayah-payah bepergian tentunya ia memiliki tujuan. Pakaiannya koyak diterpa debu,panas, hujan, dan tiupan angin, namun ia selalu bangkit dan tetap berjalan tegak, semua itu tidak mebuatnya gerah apalagi menyerah. Wajahnya cerah karena tujuannya tergambarkan jelas dihadapan keyakinannya kepada ketetapan Sang Maha Pencipta yang tidak pernah salah [79:44]:’ KepadaRabbmulah kesudahan’. Menurut Tafsir Ibnu Katsir, almuntaha itu adalah tempat kembali pada hari Qiyamat.

Tujuan seorang musafir tidak akan pernah tercapai jikalau ia lalai terhadap petunjuk atau pedoman perjalanannya. Petunjuk ini merupakan kebutuhan mutlak bagi si musafir. Bila petunjuk ini menjadi panduan, rasa aman akan mengiringi langkah sang musafir. Jika petunjuk menjadi acuan niscaya harapan menjadi kenyataan. Demikian pula dengan kehidupan kita, barangsiapa yang mengikuti petunjuk Allaah, tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Mungkinkah si musafir dapat survive tanpa perbekalan yang cukup? Bisakah tercapai tujuan musafir tanpa kekuatan bekal, padahal perjalanannya itu berat penuh tantangan dan rintangan? Tentunya tidak! Ingatlah sebaik-baik bekal bagi musafir adalah taqwa.

Setiap insan diciptakan pasti membawa kelemahan. Secermat-cermat orang pasti ia pernah salah alamat. Sepandai-pandainya orang pasti ia pernah lalai. Sehati-hatinya seseorang pasti ia pernah ceroboh menyakiti. Di sinilah seorang musafir memerlukan teman yang tulus hati mengingatkan, mengulurkan bantuan yang diperlukan. Teman inilah pemberi inisiatif di kala fikiran sedang tidak aktif, penyuguh suka di kala hati sedang berduka. Berbahagialah sang musafir bila akrab dengan teman seperi ini: ‘Dan matikanlah kami beserta orang-orang yang berbakti’.

Akhirnya, kepada Allaah lah memohon agar kita dapat memanfaatkan waktu-waktu yang kita jalani dengan sesuatu yang berguna untuk kehidupan dunia dan akhirat kita. Mudah-mudahan, di tahun 2009 kualitas amal kita semakin meningkat. Aamiin.

Wassalaam,
I Do Y
C'mindi, Januari 2009

Rabu, 08 Oktober 2008

Sekejap di waktu terlelap

Assalaamu'alaikum warahmatullaah,

“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang bersyukur”[34:17]

Diantara shalat yang mempunyai kedudukan yang utama setelah shalat
fardhu adalah shalat malam. Rasulullaah saw telah bersabda,”shalat
yang paling utama sesudah fardhu,(adalah) shalat lail”[HR.Muslim].
Shalat tersebut biasanya dikenal dengan nama Qiyamullail atau
shalat tahajjud. Dinamakan Qiyamullail, Qiyam berasal dari kata
kerja qaama (berdiri), karena pada asalnya shalat itu harus
dikerjakan dengan berdiri. Dinamakan shalat tahajjud karena shalat
tersebut biasa dikerjakan sesudah tidur pada malam hari. Tahajjud
asalnya dari kata kerja tahajjada, artinya bangun tidur. Di dalam
Al-Qur’an, shalat tersebut diproklamirkan sebagai shalat tambahan
(nafilah), “Dan pada sebagian malam hendaklah engkau bertahajjud,
sebagai tambahan bagimu…”[17:79].

Qiyamullail merupakan suatu ibadah yang biasa dilakukan oleh
orang-orang shalih terdahulu,”Hendaklah kamu sekalian mengerjakan
qiyamullail, sebab ia kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu
dan merupakan ibadah (taqarrub) kepada Tuhan kamu…”[HR. Ibnu
Khuzaimah]. Selain itu, Qiyamullail juga merupakan identitas
“’ibaadurrahmaan”, kelompok hamba Allaah yang penyayang,”..Dan
mereka itu apabila malam hari bersujud dan berdiri (shalat)
karena(ikhlas) kepada Tuhan mereka”[25:64].

Qiyamullail merupakan suatu ibadah yang memiliki beberapa keutaman
dan faedah bagi siapa saja yang melakukannya. Bangun di malam hari
untuk beribadah kepada Allaah akan memberikan bekas kepada jiwa.
Waktu itu sunyi dari keramaian dunia, senyap dari kesibukan urusan
serta sepi dari hiruk pikuk rutinitas keseharian, maka akan
timbullah ketentraman dan kekhusyuan yang mengantarkan kepada
keteguhan dan kekuatan jiwa serta kepribadian. Bila antara indera
lahiriyah telah seimbang denga indera bathiniyah (hati), maka akan
timbullah jalinan sikap yang tak mudah goyah, kokoh kuat tak mudah
tumbang. ”Sesungguhnya bangun pada malam hari (shalat) sangat
meneguhkan pendirian (jiwa) dan lebih meluruskan bacaan
(berkesan)”[73:6].

Secara umum shalat mencegah manusia dari berbuat kejahatan dan
kemungkaran[29:45]. Demikian pula faedah dari Qiyamullail adalah
pencegah dan penghapus dosa,” Hendaklah kamu sekalian mengerjakan
qiyamullail, sebab ia kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu
dan merupakan ibadah (taqarrub) kepada Tuhan kamu,juga penghapus
bagi perbuatan jahat dan pencegah dari perbuatan yang menyebabkan
dosa”[HR. Ibnu Khuzaimah].

Meraup kenikmatan merupakan keinginan setiap manusia. Lebih-lebih
kenikmatan abadi yang dijanjikan Allaah bagi hambanya yang
bertaqwa. Qiyamullail merupakan salah satu ibadah yang menyebabkan
seseorang masuk surga dengan aman sentosa, “Wahai manusia!
Sebarkanlah salam, berilah makan (orang yang lapar), sambunglah
tali kasih sayang antar keluarga dan dirikanlah shalat pada waktu
malam ketika manusia sedang tidur, kamu akan masuk surga dengan
aman sentosa”[HR. Tirmidzi}.

“Dan pada sebagian malam hendaklah kamu bertahajjud, sebagai
shalat tambahan bagimu, niscaya Tuhan-mu akan membangkitkan kamu
pada kedudukan (martabat) yang terpuji”[17:79]. Meskipun ayat ini
khitabnya kepada Rasulullaah saw, akan tetapi bukanlah termasuk
ibadah khushushiyah kepada beliau. Karena itulah Rasulullaah
menganjurkan umatnya untuk mengerjakan Qiyamullail. Bangun tengah
malam disaat sebagian manusia terlelap tidur merupakan hal yang
berat. Kemauan dan kebulatan tekad untuk melaksanakannya inilah
yang dinilai Allaah dengan menempatkan mereka yang melakukan
Qiyamullail ditempat yang terpuji di akhirat.

Al-Mughirah bin Syu’bah berkata,”Rasulullaah saw berdiri (shalat
pada waktu malam) sehingga kaki beliau bengkak. Maka beliau
ditanya; Bukankah Allaah telah mengampunimu dosa yang telah lalu
dan yang akan datang? Beliau menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku
menjadi seorang hamba yang bersyukur?”[HR. Bukhari-Muslim]. Bila
kita mencintai Rasulullaah saw, maka sepatutnya kita mengikuti
jejak langkahnya. Qiyamullail adalah jejak langkah Beliau sebagai
ungkapan syukurnya kepada Al-Khaliq. Akankah kita mengikuti jejak
langkah Beliau? Ringankah kita melakukannya?

“...Bangun sekejap di waktu terlelap (untuk Qiyamullail), tapi
sedikit orang melakukannya…”. Mudah-mudahan kita termasuk kepada
kelompok sedikit ini. Wallaahu a'lam.


Wassalaamu'alaikum,
I Do Y

Cinta sehidup semati, OK?

Assalaamu'alaikum,

Kata orang muda, cinta itu sulit didefinisikan namun tidak sulit untuk
diungkapkan. Katanya lagi, ungkapan cinta dapat saja disajikan melalui
materi, "zeg het met bloemen" misalnya, ataupun melalui rentetan kata
yang ditulis dalam sebuah lembaran/kartu dari hasil karya kita,
misalnya dalam lembaran thesis, " To my wife and my daughter for their
love, patience and understanding".

Adanya rasa cinta mencintai antara suami istri sangatlah diperlukan
dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Bahkan ia merupakan salah
satu modal utama dalam membina keharmonisan rumah tangga. Jika bahtera
rumah tangga kita selalu diselimuti oleh kebencian, diukir oleh
kemarahan, dan dirajut di atas benang kecemburuan yang berlebihan, maka
sudah pastilah bahtera kita akan menemui kerikil-kerikil tajam yang
kelak akan menghambat lajunya. Oleh karenanya, saling cinta dan kasih
sayang (mawaddah wa rahmah) yang merupakan karunia Ilahi, harus tetap
dijaga, dipelihara dan ditumbuh-kembangkan. Dengan mawaddah wa rahmah,
masing-masing pihak ingin saling menyenangkan dan membahagiakan, dan
masing-masing pihak saling menjaga dirinya dalam tindak maupun tutur
katanya, jangan sampai menyinggung atau melukai pihak lain. Alhasil,
dengan mawaddah wa rahmah berbagai persoalan yang dihadapinya akan
terasa mudah ditanggulangi, tiada bukit yang tidak bisa didaki, tiada
lembah yang tidak bisa dituruni, dan tiada lautan yang tidak bisa
diarungi.

Persoalannya, bagaimana merawat dan menumbuh-suburkan cinta tersebut?
Dengan menjalin cinta sehidup sematikah? Atau, sesudah ditinggal mati
oleh pasangannya, yang lain tidak akan kawin lagi dengan siapapun?
Tentu tidak demikian!

Cinta sejati tidak harus ditandai oleh ikatan janji sehidup semati.
Apalagi bagi seorang muslim yang telah berikrar "Sesungguhnya shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku sepenuhnya untuk mendambakan keridlaan
Allaah, Rabbul 'Alamiin". Cinta sejati bagi seorang muslim tidak boleh
bergeser sedikitpun dari landasan keimanannya kepada Allaah swt.
Kecintaannya kepada apa dan siapapun, termasuk kepada suami maupun
istri, tetap berorientasi kepada mendambakan keridlaan-NYa semata.
Bukan kepada keridlaan suami maupun istri. Mendambakan keridlaan Allaah
akan menuntun manusia ke arah kebaikan (ma'rufaat) dan menjauhkan dari
keburukan (mungkarat). Lebih dari itu, cinta yang berorientasikan
keridlaan Allaah akan menjadi 'aset' akhirat, karena ia akan merupakan
amal shalih. Berbeda halnya dengan cinta yang bersandarkan kepada
keridlaan manusia, belum tentu diridlai olehNya. Bahkan tidak jarang
kebahagiaan dan kesenangan manusia didominasi oleh 'mempertuhankan'
hawa nafsunya, yang pada gilirannya bisa bermuara kepada kesyirikan,
"Hidup dan matiku demi si Fulan/si Fulanah...", misalnya. Marilah kita
simak perjalanan hidup Ummul mu'minin yang satu ini bila dikaitkan
dengan persoalan cinta sehidup semati.

Sebelum menjadi istri Rasul, Ummu Salamah yang nama aslinya Hindun
binti Suhail, dipersunting oleh Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal yang
kemudian dikenal dengan julukan Abu Salamah. Gelar Ummu dan Abu Salamah
yang diberikan kepada mereka karena salah seorang dari empat anaknya
ada yang bernama Salamah. Ketika keluarga ini pergi berhijrak ke
Madinah, di tengah perjalanan anak kesayangannya (Salamah) dan ibunya
disandera oleh kaum dari kalangan sukunya sendiri, Bani Makhzum.
Penyanderaan ini mengundang amarah besar dari keluarga ayahnya, Bani
Asad. Peristiwa tersebut dikenal dengan 'Kasus Salamah", sehingga
Abdullah bin Asad kemudian dikenal dengan sebutan Abu Salamah. Demikian
pula denga Hindun binti Suhail dikenal dengan sebutan Ummu Salamah.

Suami istri ini termasuk sahabat Rasul yang amat setia. Keduanya
memiliki andil dalam mendukung perjuangan Rasul dalam melancarkan
da'wah Islam. Bahkan Abu Salamah pernah ditunjuk Rasul sebagai pemimpin
pasukan guna menghajar qabilahnya sendiri, Bani Asad, yang hendak
menyerang kaum muslimin usia perang Uhud.

Suatu ketika, sepulangnya dari pertempuran dengan Bani Asad, Abu
Salamah menderita sakit yang cukup parah. Sang istri, Ummu Salamah
dengan setia menungguinya. Rasul pun sering mengunjunginya. Ketika
kondisinya semakin kritis, untuk menunjukkan demikian cintanya kepada
sang suami, Ummu Salamah mengajaknya untuk saling berjanji:" Aku pernah
mendengar berita bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya,
kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, bila
setelah ditinggal mati oleh suaminya dia tidak kawin lagi dengan
siapapun. Demikian pula halnya suami, setelah ditinggal mati oleh
istrinya. Oleh karena itu, marilah kita saling berjanji: Bahwa Anda
tidak akan kawin lagi seandainya aku meninggal dunia lebih dahulu. Dan
akupun berjanji kepada Anda, bahwa aku tidak akan kawin lagi bila Anda
mendahului aku!". Bagaimana reaksi Abu Salamah atas ajakan istrinya
itu?Adakah dia menyetujuinya? Dengan tenang Abu Salamah balik bertanya
kepada istrinya:"Maukah Anda mengikuti saranku?" Ummu Salamah
menjawab:"Baik, saya bermusyawarah untuk mentaati". Lalu Abu Salamah
berkata:"Seandainya aku meninggal lebih dahulu, aku mengharap sebaiknya
Anda kawin lagi. Dan Aku mohon kepada Allaah, semoga Anda memperoleh
suami yang lebih dari aku. Kemudian abu Salamah pun berdo'a: "
Allaahumma urzuq umma Salamata ba'diy rajulan khairan minniy, Laa
yuhzinuhaa wa laa yu'dziihaa" (Ya Allaah karuniakanlah kepada Ummu
Salamah sepeninggalku nanti, seorang lelaki (suami) yang lebih baik
daripadaku, dia tidak menyusahkannya dan tidak pula menyakitinya).

Alkisah, selang beberapa hari kemudian Abu Salamah meninggal dunia.
Setelah ditinggal mati suaminya, Ummu Salamah merenung sambil berkata
dalam hatinya:"Darimana aku bisa mendapatkan untuk diriku orang yang
lebih baik dari Abu Salamah?". Lalu ia pun berdoa,"Ya Allaah
karuniakanlah kepadaku pahala yang berkaitan dengan musibah menimpaku,
dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya". Tiba-tiba setelah
masa iddahnya berakhir, Rasulullaah datang menemuinya dan meminangnya.

Demikianlah kisah menarik dari celah kehidupan Ummu Salamah dengan
suaminya. Jadi cinta sejati bagi seorang muslim harus tetap beredar
pada poros akidahnya:Iman kepada Allaah serta mendambakan keridlaanNya.
Dengan demikian kecintaannya kepada siapapun hendaknya bisa menumbuhkan
amal shalih yang pada gilirannya membuahkan 'hayatan thayyibah'. Jadi
cinta sehidup semati bila perwujudannya menyimpang dari ketentuan dan
nilai syari'at Islam, tentu saja tidak bisa dibenarkan.

Wallaahu a'lam,
Dari berbagai sumber...

Wassaalaamu 'alaikum,

I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Belajar dari Si 'Pedang Allaah'

Assalaamu'alaikum,

Bersikap ikhlash dalam setiap perilaku hidup kita memang tidak mudah.
Tidak semudah sebagaimana mengucapkannya dengan rangkaian kata-kata
yang indah. Untuk bersikap ikhlash, semata-mata mengharapkan keridhaan
Allaah swt, itu diperlukan landasan keimanan yang kokoh kepada-Nya,
karena keikhlashan ini terpancar dari lubuk hatinya. Hati yang telah
dipenuhi dengan akidah yang shahihah akan menjadi sumber yang subur
bagi tumbuhnya keikhlashan. Hati ini menjadi titik sentral dalam
menilai amal perbuatan seseorang, dan itu hanya bisa dilakukan oleh
Allaah swt. Sedangkan manusia terhadap sesamanya, tidak memiliki
kemampuan ini karena berbagai keterbatasannya. Manusia hanya bisa
menilai sesamanya berdasarkan aspek lahiriyahnya saja, bila hal itu
memang diperlukan. ?Nahnu nahkumu bi zhawaahir (Kita menghukum
(seseorang) berdasarkan lahiriyahnya saja[penulis])?, begitu anjuran
Rasulullaah saw ketika ada sahabat yang mencoba menilai hati seseorang.

Pernah Rasulullaah saw ditanya tentang orang yang berperang karena
ingin mendemonstrasikan keberaniannya, yang lain karena ingin
mati-matian membela kaumnya, dan yang satu lagi karena ingin namanya
populer dicatat dalam sejarah, siapa diantara mereka yang berjuang di
jalan Allaah? Rasulullaah menjawab,?Barangsiapa berjuang untuk
menegakkan Kalimah (Agama) Allaah yang luhur itu, maka dia itulah orang
yang berjuang di jalan Allaah?[ HR. Bukhari-Muslim]. Berjuang karena
menegakkan Agama Allaah dan mencari keridhaa-Nya, merupakan kunci
diterimanya amalan kita.

Marilah kita simak celah kehidupan seorang mujahid yang perlu kita
jadikan qudwah dalam soal keikhlashan, yaitu Khalid Ibnul Walid. Tentu
saja tinjauannya sebatas aspek lahiriyah saja. Soal hakikatnya
(kebenaran sejati) tentang keikhlashan Khalid, kita serahkan kepada
Allaah swt, Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Yang jelas, sekarang
ini kita kehilangan figur panutan dan pimpinan yang ikhlash dan jujur
yang mampu menggerakkan ummat menuju tegaknya 'Kalimatullaah Hiyal
'Ulya'.

Khalid Ibnul Walid yang pada mulanya memusuhi Islam dan kaum muslimin,
akhirnya berbalik menjadi penganut Islam yang setia, bahkan dengan
gigihnya ia berani menumpas musuh-musuh islam yang notabene
kawan-kawannya dulu sebelum dirinya masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, pada
awal tahun ke-8 H, dirinya menyatakan masuk Islam setelah akal sehatnya
mampu menangkap berbagai rahasia kebenaran Islam. Sebagai seorang
panglima perang yang berpengalaman, Khalid melihat adanya 'keajaiban'
dalam pasukan kaum Muslimin. Meski jumlah mereka relatif kecil
dibanding pasukan Quraisy, persenjataan dan pengalaman perang mereka
pun masih belum canggih, namun mereka senantiasa memperoleh kemenangan.
Bila mereka berada di tengah medan perang, mereka berpacu berburu untuk
meraih gelar kehormatan sebagai syahid. Mereka hanya mengenal dua
pilihan: hidup terhormat di bawah naungan Islam atau gugur sebagai
syahid.

Di sisi lain, Khalid melihat pula bahwa pertumbuhan dakwah Islam
bagaikan batu karang di tengah lautan. Semakin besar gelombang yang
menerpanya, semakin kokoh dan tegar. Semakin hebat perlawanan dan
tekanan kepada dakwah Islam, semakin kuat dan pesat pertumbuhannya.
Pengikut dan pendukungnya pun semakin bertambah. Inilah antara lain,
rahasia 'keajaiban' Islam yang ditangkap oleh akal sehat Khalid,
sehingga menggugah kesadarannya untuk memeluk Islam.

Kini Khalid telah menemukan jalan hidupnya yang benar, resmi berada di
barisan kaum Muslimin di bawah naungan komando Rasulullaah saw. Taqdir
Allaah, peluang emas pun datang. Peluang yang dimaksud adalah
pengerahan pasukan kaum Muslimin ke medan Muktah, untuk menghadapi
pasukan Romawi. Rasulullaah saw telah mengetahui akan kekuatan pasukan
yang akan dihadapinya. Karena itu, Rasulullaah saw lalu mempersiapkan
tiga orang komandan perang sekaligus. Pertama, Zaid bin Haritsah. Bila
ia gugur, diganti oleh komandan kedua, yaitu Ja'far bin abi Thalib.
Bila ia gugur pula, maka tampillah komandan ketiga yaitu Abdullaah bin
Rawahah. Sementara Khalid yang masih relatif baru keislamannya, menjadi
pasukan biasa (meskipun pengalamannya dalam berperang sangat banyak).

Perang pun dimulai. Ternyata, terjadilah apa yang telah diperkirakan
Rasulullaah saw. Satu persatu komandan yang telah ditunjuk Rasul
berguguran sebagai syahid. Dengan sendirinya bendera komando tidak ada
yang mengibarkannya. Pada saat kritis ini, tampillah Tsabit bin Arqam
mengambil inisiatif untuk menemui Khalid dan memintanya agar dia
bersedia tampil memegang bendera komando. Namun Khalid menolak, karena
masih ada di antara mereka orang yang berhak, baik dari kalangan
Muhajirin maupun Anshar terutama tokoh-tokoh yang pernah menyertai
Perang Badar. Lalu Tsabit bin Arqam meminta pendapat kaum Muslimin.
Ternyata mereka sepakat untuk menyerahkan bendera komando ke tangan
Khalid. Akhirnya dengan segala kerendahan hati Khalid pun menerima
amanah tersebut demi kejayaan Islam. Di bawah kepemimpinannya, Khalid
mampu mengendalikan dan menyelamatkan pasukan Muslimin yang nyaris
porak poranda. Sejak itulah Khalid diberi gelar oleh Rasulullaah saw
sebagai 'Saifullaah' (Si Pedang Allaah).

Di kali yang lain, pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid juga
diberikan kepercayaan oleh Abu Bakar untuk menanggulangi kesulitan yang
dihadapi pasukan kaum Muslimin di medan Yarmuk (Syam). Padahal di
tengah-tengah mereka terdapat sejumlah pendekar terkemuka, antara lain
Abu Ubaidah bin AlJarrah, 'Amr bin 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan juga
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ketika tiba di Yarmuk, Khalid langsung
mengadakan pertemuan dengan para pendekar tersebut untuk mengatur
strategi dan taktik yang hendak dilakukannya. Yang menarik adalah
pidato yang disampaikannya kepada segenap kaum muslimin: ? Hari ini
adalah hari-hari Allaah. Karenanya, tidak patut kita di sini
berbangga-bangga apalagi berbuat durhaka. Marilah kita berjihad dengan
ikhlash, mendambakan keridhaan-Nya semata. Soal kepemimpinan bisa
dilakukan secara bergiliran. Hari ini bisa si Fulan, besok orang lain,
dan demikian seterusnya, sehingga seluruhnya berkesempatan untuk
menjadi pimpinan...!?.

Kepemimpinan bagi Khalid adalah amanah sebagai salah satu sarana untuk
beribadah. Dia bukanlah berkah yang harus diperebutkan. Kualitas ibadah
dan perjuangan tidak terletak pada kedudukan dan jabatan, tapi terletak
pada keikhlashan, kejujuran dan keshabaran. Apakah tampil sebagai
komandan atau prajurit, pimpinan atau bawahan, bagi Khalid sama saja.
Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat
itu Khalifah ingin melakukan pergantian sejumlah komandan perang.
Khalid yang kala itu sedang memimpin pasukan kaum Muslimin di medan
perang menghadapai tentara Romawi, termasuk yang akan digantikan.
Sebagai penggantinya, Khalifah menunjuk Abu Ubaidah AlJarrah. Begitu
perintah penggantian datang, Khalid pun segera menyerahkan
kepemimpinannya kepada penggantinya. Selanjutnya, Khalid tetap berada
di barisan terdepan meski menjadi prajurit biasa. Pelengseran dirinya
dari pimpinan, sedikitpun tidak mengurangi daya jihadnya di medan
juang. Itulah sosok Si Pedang Allaah yang ikhlash dalam berjuang.

Ditampilkannya kembali sosok Khalin Ibnul Walid dalam tulisan ini,
semoga dapat menggugah kesadaran dan mendorong kita untuk senantiasa
berjuang di jalan Allaah dengan menyertakan sikap Ikhlash dalam
perbuatannya. Menjauhkan diri kita dari perbuatan meyebut-nyebut
kebaikan kita kepada sesama, serta menjauhkan diri dari 'give and take'
ketika kita menolong sesama.

Wallaahu a'lam, kepada Allaah lah kita memohon ampunan.

*)Disadur dari AlMuslimun no. 392

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Bahagia itu berpagar derita

Assalaamu'alaikum,

Nabiyullaah Musa as dilahirkan dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Dilepas hanyut dalam sebuah peti oleh ibunya ke Sungai Nil karena takut
dibunuh oleh Fir'aun. Setelah besar diangkat menjadi Nabi. Kemudian
sekian lama ia menumpang di rumah ayah angkatnya sendiri, Fir'aun.
Namun datanglah petunjuk dari Allaah bahwa ayah angkatnya adalah musuh
baginya. Allaah mengujinyanya dengan kehidupan yang sungguh berat. Ia
muncul dari bangsa miskin, kemudian harus menempuh perjuangan di antara
kekafiran yang sangat kuat dan kokoh lagi besar.

Bagaimana penderitaan Nabi Yusuf as? Ia tidak disukai oleh orang-orang
yang semestinya memberikan kasih dan cintanya, yakni
saudara-saudaranya. Gejolak ini berlangsung sejak ia masih kecil.
Puncaknya ia dilempar ke dalam sumur yang gelap gulita dan pengap.
Diperdagangkan sebagai budak belian. Lalu dijebloskan ke penjara meski
ia tak pernah melakukan kejahatan sedikitpun.

Lihat pula Nabiyullaah Ya'qub as. Ia harus kehilangan anak yang
dicintainya, Yusuf dan Bunyamin. Ya'qub as tetap tegar, shabar dan
tidak berputus asa. Justru ia punya harapan besar di balik mushibah
yang dialaminya," Semoga Allaah mengembalikan anak-anakku itu
semuanya"[QS Yusuf 83].

Cermatilah Nabi Ibrahim as!. Cobaan apa yang melebihi cobaan kekasih
Allaah ini?. Imannya teruji dengan ujian berat yang tiada berbanding,
diperintahkan untuk menyembelih anak kandungnya sendiri.

Manakah yang lebih besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam
as? Ketika ia menikmati kesenagan surgawi dengan istrinya, lalu ia
diperintahkan untuk meninggalkannya.

Begitu pahit dan sakitnya derita Nabi Nuh as yang menyeru umat kepada
Islam, sementara istri dan anaknya tidak mau menjadi pengikutnya.
Bahkan ketika Allaah memerintahkan untuk naik perahu, anaknya tetap
menolak dan akhirnya tertelan dalam gulungan banjir.

Begitu pula dengan perjalanan hidup Luth asa, Isa as, Muhammda saw dan
Nabi-Nabi lainnya, mereka menemukan penderitaan demi kemulian
Risalahnya.

Pernahkah mereka mengeluh?Tidak.Mereka yakin bahwa iman kepada Allaah
memang menghendaki perjuangan, pengorbanan sekaligus keteguhan hati.
Mereka tidak terlalu menuntut kemenangan zhahir, karena memang mereka
selalu menang di alam bathin. Mereka memikul beban berat menjadi Rasul,
mengemban perintah Allaah, dan karena itulah mereka tempuh kesulitan.
Pertama, untuk membuktikan kecintaannya kepada Allaah, dan kedua untuk
menggembleng bathinnya agar semakin kokoh tak mudah roboh oleh celaan,
semakin kukuh tak gampang rubuh hanya karena ancaman, semakin kuat tak
bisa diperalat oleh iming-iming duniawi.

Bagaimana dengan kita?Kita sering berpikir, betapa berat dan kerasnya
perjalanan hidup ini. Terasa sempit di saat hati kita tak mampu lagi
menahan beban masalah. Terasa lunglai, lemah dan berat melangkahkan
kaki, tak kuat dan bingung menghadapi berbagai susana hidup yng sulit
dan membelit. Berat...Apalagi kedatangannya di luar perhitungan dan
dugaan. Akhirnya, kita tak lagi merasa mampu berdiri menopang beban
berat yang harus dipikul.

Tidak! Itu bukan tanda-tanda kelemahan yang harus disesali. Walaupun
manusia memang diciptakan dalam tabiat serba lemah, tapi ingatlah!
Allaah tidak akan pernah menimpaakan beban masalah kepada seseorang di
atas batas kemapuan orang tersebut meikulnya[QS AlBaqarah 286] dan
Allaah tidak akan menzhalimi hamba-Nya[QS AlImran 182].

Janganlah pernah lupa! Allaah menciptakan kehidupan tanpa janji bahwa
hari-hari kita akan berlalu tanpa sakit, berhias tawa tanpa kesedihan,
diselimuti senang tanpa kesulitan, terpancari matahari tanpa awan
gelap, diguyur hujan tanpa ancaman petir, kilat dan banjir. Tapi yang
pasti, jika kita mau, Allaah menjanjikan kita kekuatan agar kita mampu
melalui hari-hari dari hidup yang penuh romantika ini. Jika kita mau,
Allaah akan memberikan pelita supaya bisa meretas onak dan duri
kehidupan ini dengan selamat.

Keselamatan hidup ada pada seberapa mampu kita menjaga dan memelihara
jiwa dalam menempuh hidup. Nasehatilah jiwa, pahamkan keinginannya agar
tetap berada pada jalan Allaah, apapun keadaannya. Kembalikan bahwa
apapun yang dialami, itu adalah kehendak Sang Maha Kuasa, sesungguhnya
cobaan ini dari Allaah dan kita akan diuji dengannya, Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun.

Sedetikpun Allaah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Jika
Allaah berkehendak, tak ada yang dapat menghalangi turunnya pertolongan
dan bantuan-Nya. Masalahnya hanya ada pada proses turunnya pertolongan
itu. Karenanya, sekali lagi jangan pernah kalah oleh cobaan dan ujian.
Imam Syafi'fi pernah berkata," Seseorang tidak akan pernah merasa
tentram kecuali setelah ia diuji. Allaah telah menguji Nabi Nuh as,
Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw.
Ketika mereka bershabar, Allaah menentramkan mereka. Padahal tak
seorangpun menyangka bahwa mereka dapat terlepas dari ujian tersebut".

Kita tidak boleh meminta ujian kepada Allaah swt. Namun bila ujian itu
menghampiri kita, berbahagialah! Jadikan ia sarana yng mengingatkan
kita untuk segera memperbaiki diri. Semoga Allaah senantiasa menyertai
langkah-langkah kita.

*)sebagian diambil dari artikel Selamet Junaidi, Almuslimun no. 392,
selebihnya adalah coretan penulis.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Tabayyun

Assalaamu'alaikum,

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu
hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti
dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik
dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar
permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlaq mulia yang merupakan prinsip penting dalam
menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan.
Hadits-hadits Rasulullaah saw dapat diteliti keshahihannnya antara lain
karena para ulama menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam
kehidupan sosial masyarakat, seseorang akan selamat dari salah faham
atau permusuhan bahkan pertumpahan darah antar sesamanya karena ia
melakukan tabayyun dengan baik. Oleh karena itu, pantaslah Allaah swt
memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun dalam
menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak meyesal di
kemudian hari," Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
(tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatan itu".

Bahaya meninggalkan tabayyun

1. Menuduh orang baik dan bersih dengan dusta.
Seperti kasus yang menimpa istri Rasulullaah saw yaitu Aisyah ra. Ia
telah dituduh dengan tuduhan palsu oleh Abdullaah bin Ubai bin Salul,
gembong munafiqin Madinah. Isi tuduhan itu adalah bahwa Aisyah ra telah
berbuat selingkuh dengan seorang lelaki bernama Shofwan bin Muathal.
Padahal bagaimana mungkin Aisyah ra akan melakukan perbuatan itu
setelah Allaah swt memuliakannya dengan Islam dan menjadikannya sebagai
istri Rasulullaah saw. Namun karena gencarnya Abdullaah bin Ubai bin
Salul menyebarkan kebohongan itu sehingga ada beberapa orang penduduk
Madinah yang tanpa tabayyun, koreksi dan teliti ikut menyebarkannya
hingga hampir semua penduduk Madinah terpengaruh dan hampir mempercayai
berita tersebut. Tuduhan ini membuat Aisyah ra goncang dan stress,
bahkan dirasakan pula oleh Rasulullaah saw dan mertuanya. Akhirnya
Allaah swt menurunkan ayat yang isinya mensucikan dan membebaskan
Aisyah ra dari tuduhan keji ini[baca QS Annuur 11-12].

2. Timbul kecemasan dan penyesalan.
Diantara shahabat yang terpengaruh oleh berita dusta yang disebarkan
oleh Abdullaah bin Ubai bin Salul itu adalah antara lain Misthah bin
Atsasah dan Hasan bin Tsabit. Mereka itu mengalami kecemasan dan
penyesalan yang dalam setelah wahyu turun dari langit yang menerangkan
duduk masalahnya. Mereka merasakan seakan-akan baru memsuki Islam
sebelum hari itu, bahkan kecemasan dan penyesalan tersebut tetap mereka
rasakan selamanya hingga mereka menemui Rabbnya[QS AlHujurat 6].

3. Terjadinya keslahfahaman bahkan pertumpahan darah.
Usamah bin Zaid ra bertutur: Rasulullaah saw telah mengutus kami untuk
suatu pertempuran, maka kami tiba di tempat yang dituju pada pagi hari.
Kami pun meyerbu musuh. Pada saat itu saya dan seorang dari kaum Anshar
mengejar salah seorang musuh. Setelah kami mengepungnya, musuh pun tak
bisa melarikan diri. Di saat itulah dia mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah. Temanku dari Anshar mampu menahan diri, sedangkan saya
langsung menghujamkan tombak hingga dia tewas. Setelah saya tiba di
Madinah, kabar itu sampai kepada Rasulullaah saw. Beliau bersabda:" Hai
Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah?Saya jawab:" Dia mengucapkan itu hanya untuk melindungi
diri". Namun Rasulullaah saw terus mengulang-ulang pertanyaan itu,
hingga saya merasa belum pernah masuk Islam sebelumnya{HR.
Bukhari].(Dalam riwayat Muslim, Nabi saw bertanya kepada Usamah dengan
"Apakah kamu telah membedah hatinya?").

Hadits ini memberi pemahaman bahwa Nabi saw marah kepada Usamah bin
Zaid ra karena ia telah membunuh musuhnya yang telah mengucapkan Laa
Ilaaha Illallaah, hingga Nabi saw bertanya "Apakah engkau telah teliti
dengan jelas (tabayyun) sampai ke lubuk hatinya bahwa ia mengucapkan
Laa Ilaaha Illallaah itu karena ia takut senjata dan ingin melindungi
diri....dst?".

Penyebab tiada tabayyun

1. Pada masa kanak-kanak.
Sesorang yang hidup di bawah asuhan orang tua yang tidak memiliki sikap
tabayyun, maka sikap tersebut kelak akan meresap ke dalam jiwa anaknya
hingga akhirnya anak itupun menjadi potret dari kedua orang tuanya
yaitu tidak memiliki sikap tabayyun.

2. Tertipu oleh kefasihan kata.
Adakalanya telinga seseorang itu jika mendengarkan kata-kata manis dan
menarik lantas menjadi tertipu, padahal itu hanyalah rayuan dan
bunga-bunga perkataan, sehingga ia lalai dan tidak tabayyun. Karena
itulah Nabi saw bersabda tatkala merasakan gejala ini, "Sesungguhnya
kalian mengajukan perkara kepadaku, dan barangkali sebagian dari kamu
lebih pintar berbicara dengan alasan-alasannya daripada yang lain, maka
barangsiapa yang aku putuskan dengan hak saudaranya karena
kepintarannya bermain kata-kata, maka berarti aku telah mengambilkan
untuknya sepotong bara api neraka, maka janganlah ia mengambilnya"[HR.
Bukhari].

3. Lalai terhadap dampak buruknya.
Seseorang tidak menyadari bahaya buruk meninggalkan tabayyun. Padahal
akibatnya akan mencemarkan nama baik orang, penyesalan diri dll.

Terapi terhadap sikap tiada tabayyun

1. Senatiasa meningkatkan ketaqwaan, karena salahsatu di antara
keutamaan taqwa adalah Allaah akan memberikan 'Furqan' kepadanya, yaitu
kemampuan membedakan yang haq dari yang batil, yang benar dari yang
bohong[QS AlAnfal 29].

2. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki sikap tabayyun. Hal ini
akan banyak memberi manfaat baginya kepada sikap kritis, penuh
pemikiran dan pertimbangan hingga ia selamat dari ketergelinciran dan
salah langkah dalam mengambil langkah dan tindakan.

3.Membaca, memahami,merenungi dan mengamalkan ayat-ayat yang membahas
tabayyun (misalnya AlHujurat 6, Annisaa 94).

4. Membiasakan diri untuk selalu berprasangka baik terhadap muslim
lainnya (QS. Annuur 12).

" Ya Allaah, lapangkanlah dada kami, tenangkanlah jiwa dan fikiran
kami, karuniakanlah sifat tabayyun pada diri kami, sehingga kami dapat
menyikapi semua berita yang sampai kepada kami dengan benar sesuai
kehendak-Mu".


Semoga bermanfaat.
Sumber:AlMuslimun n0.409.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'lautern, Nov 2004

Yu waf mi

Assalaamu'alaikum,

Waktu sebulan tanpa agenda yang jelas sungguhlah menjemukan, apalagi
bila jauh dari anak dan istri. Kegiatan harian hanyalah diisi dengan
makan, mandi, internetten dan tidur. Maar, Alhamdulillaah, setidaknya
penulis masih bisa rajin membuat coretan-coretan di milis ini. Bila
telah kembali berdinas nanti, nggak janji ah..., habis buanyaak sekali
rutinitas yang mesti dilakukan.

Hampir sebulan ini pula, penulis tidak bertatap muka dengan 'bintang '
kecil kami. Sun hangatnya, celotehannya, cubitannya dan rengekkannya,
hilanglah untuk sementara waktu. Yang ada, hanya secarik kertas yang
berisikan potret wajahnya tatkala ia berusia 3 bulan. Lumayan ah.. buat
penghangat dari dinginnya cuaca K'Lautern.

"A laf yu, yu waf mi", katanya di suatu pagi di saat kami berkumpul
dulu. Ucapannnya itu disertai dengan lenggokan kepala dan lambaian
tangannya. Wah, terus terang saja, penulis bingung sekali dengan
maksudnya." Ap..ap", katanya lagi (maksudnya menyuruh penulis berdiri,
yang ini kebetulan penulis mengerti). Kemudian kami pun melompat-lompat
sambil ia tak hentinya mencelotehkan kata-kata tersebut. Ketika ia
sudah cape, kami pun berhenti.

Rasa penasaran tadi kemudian penulis tanyakan kepada sang istri. Oh,
rupanya yang ia maksudkan dalam celotehannya tadi adalah lirik lagu
yang sering ia tonton dalam Barney cartoon show: I Love You, You love
me. Di saat lain, ia berceloteh, "Alo, Alo, Tuhan lain alo" (maksudnya
Allaah, Allaah, [tiada] Tuhan selain Allaah), menirukan lagu yang
ditontonnya di TV.

Anak kecil seusia dia (2+ thn) sepertinya sudah mulai belajar menirukan
apa yang dia lihat. Ketika ada kegiatan yang menyita perhatiannya,
biasanya ia merekamnya ke dalam otak yang kemudian ia mengungkapkannya
lagi melalui caranya sendiri. Secara umum, anak seusianya masih polos,
mudah terkena pengaruh, menyerap pengalaman apa saja tanpa timbang
pikir dan rasa. Apa yang didengar dan dilihatnya, ia tirukan saja tanpa
ada yang dirahasiakan.

Di dalam alquran, Allaah swt telah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur"[Annahl 78]. Demikian pula sebuah hadits diriwayatkan Imam
Muslim, yang sudah populer di kalangan kita, menyatakan 'Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikan anak
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi'. Berangkat dari kedua sumber ini,
maka dapatlah kita fahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak baik
menyangkut fisik, mental dan keagamaannya, dari fitrahnya menuju
perkembangan selanjutnya yang lebih baik dan matang tidaklah
semata-mata merupakan faktor instink/bawaan saja, melainkan sangat
bergantung pada proses pendidikan/bimbingan yang dilaluinya. Oleh
karenanya, anak-anak sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya
menaruh perhatian terhadap masalah pendidikannya. Jadi kalau ada orang
tua yang menyesali perbuatan anaknya karena berpindah agama, maka ia
harus introspeksi diri, penyesalan itu harus dikembalikan kepada
dirinya sendiri. Mengapa dulu ia tidak pernah memperhatikan pendidikan
bagi anak-anaknya.

Adalah suatu kewajiban orang tua untuk mengasuh, mengasihi, dan
mengasah anak-anaknya, tidak membiarkan mereka bebas bagaikan burung di
luar sangkar, sekaligus juga tidak mengekang mereka seperti macan di
dalam kandang besi yang sempit. Tetapi anak-anak dididik di rumah
dengan contoh-contoh teladan yang selaras dengan nilai-nilai keagamaan,
juga diikutsertakan dalam kegiatan keagamaan di tengah-tengah
masyarakat agar mental agama mereka berkembang dengan baik.

Untuk mendidik menjadi waladun shalih (anak yang shalih), ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan alam, agama, keluarga,
sekolah dan masyarakat. Nabi Adam as dan istrinya mendapat pendidikan
melalui alam dan agama (dari Allaah swt langsung). Namun anak-anaknya
kemudian mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, dan lingkungan alam
sekitarnya. Kabil menguburkan adiknya yang ia bunuh (Habil) setelah ia
menyaksikan seekor burung yang tngah mengorek-ngorek tanah untuk
mengubur burung lain yang sudah mati.

Manusia di jaman modern ini akan mendapat pendidikan dari ke lima
faktor di atas. Namun perlu disadari, untuk melaksanakan pendidikan
yang menunjang kepada pendidikan waladun shalih ini tantangannya sangat
besar. Setiap keluarga muslim hendaknya berusaha membentengi
anak-anaknya dengan pendidikan Islam sejak dini, menyangkut pendidkan
aqidah, agar anak mengenal Allaah dan tidak mempersekutukannya;
pendidikan amal shaleh dan mu'amalah, agar anak dapat berbuat baik
kepada sesamanya; pendidikan syariah dan ibadah, agar anak mempelajari
dan mau melaksanakan ibadah dalam rangka penghambaannya kepada Allaah
swt; pendidikan da'wah, agar anak mampu berbuat amar ma'ruf dan nahi
munkar; pendidikan akhlaq, agar anak berprilaku baik; dan pendidikan
shabar, agar anak tenang, kuat dan tabah dalam menghadapi kesempitan
hidup.

Cara pendidikan orang tua terhadap anaknya pada tahun-tahun awal
pertumbuhannya sangat memerankan bagian penting dalam mempengaruhi
pembinaan jiwanya. Apabila cara yang digunakan akan menimbulkan rasa
takut dan tidak aman pada anak dalam berbagai situasi dan
berulang-ulang, maka akibatnya mereka akan mengalami kegoncangan jiwa.
Menurut Musthafa Fahmi seorang ahli kesehatan dari Mesir, bahwa
diantara sebab-sebab terpenting dari kegoncangan jiwa anak antara
lain:(1) anak tidak mendapat pemeliharaan ibu; (2) anak merasa tidak
disayangi atau bahkan dibenci;(3) orang tua terlalu toleran pada
kesalahan anak;(4) perhatian yang berlebihan dalam menjaga anak;(5)
kekerasan orang tua terhadap anak dan kecenderungan bersikap otoriter
terhadap anak;(6) orang tua terlalu ambisius.

Bagaimanakah cara orang tua dalam menumbuhkan mental agama anak?
Menurut suatu sumber, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan.

Pendekatan pertama dalah pendekatan personal. Hal ini dilakukan dengan
cara mengenali perkembangan sifat, kebiasaan, perasaan dan alam pikiran
anak, kemudian membina mentalnya melalui hubungan harmonis sesuai
dengan tingkat perkembangan pribadi dan emosinya.

Pendekatan kedua adalah pendekatan moral agama. Hal ini dilakukan
dengan cara memberikan tauladan-tauladan kepada anak sesuai dengan
moral agama. Segi ucapan, perbuatan, pergaulan dan sikap hidup di rumah
tangga perlu dijiwai dengan nafas agama. Misalnya menyuruh anak
membiasakan membaca basamalah setiap memulai aktifitasnya dan hamdalah
ketika mengakhirinya.

Ketiga adalah pendekatan seremonial agama. Hal ini dilakukan agar anak
memiliki dorongan yang kuat untuk lebih mengembangkan minat agamanya.

Keempat adalah pendekatan akal. Hal ini dilakukan apabila anak telah
mulai berpikir kritis. Penanaman keyakina agama pada usia ini perlu
dibawakan secara lebih 'rasional', sesederhana mungkin dan jangan
menyulitkan anak.

Anak adalah suatu amanah yang dikaruniakan Allaah kepada hamba-Nya yang
dipilih. Amanah ini tidak sekedar pemberian tanpa tanggung jawab. Oleh
karenanya, pendekatan-pendekatan untuk menumbuhkan mental keagamaan
anak adalah suatu ikhtiar untuk melaksanakan amanah tersebut.
Pendekatan melalui 'love' dan 'respect' terhadap anak, perlu kita
tumbuhkan sebagai suatu kebiasaan agar anak kelak memiliki mental agama
yang tangguh.

Mohon do'anya, agar penulis mampu membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah yang melahirkan dzurriyyatan thayyibatan. Aamiin.


To my star,...semoga Iya'[ayah] mendidkmu dengan "A laf yu, yu waf mi".

Sumber bacaan: AlMuslimun no. 409.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'lautern ,Nov 2004