Rabu, 08 Oktober 2008

Sekejap di waktu terlelap

Assalaamu'alaikum warahmatullaah,

“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang bersyukur”[34:17]

Diantara shalat yang mempunyai kedudukan yang utama setelah shalat
fardhu adalah shalat malam. Rasulullaah saw telah bersabda,”shalat
yang paling utama sesudah fardhu,(adalah) shalat lail”[HR.Muslim].
Shalat tersebut biasanya dikenal dengan nama Qiyamullail atau
shalat tahajjud. Dinamakan Qiyamullail, Qiyam berasal dari kata
kerja qaama (berdiri), karena pada asalnya shalat itu harus
dikerjakan dengan berdiri. Dinamakan shalat tahajjud karena shalat
tersebut biasa dikerjakan sesudah tidur pada malam hari. Tahajjud
asalnya dari kata kerja tahajjada, artinya bangun tidur. Di dalam
Al-Qur’an, shalat tersebut diproklamirkan sebagai shalat tambahan
(nafilah), “Dan pada sebagian malam hendaklah engkau bertahajjud,
sebagai tambahan bagimu…”[17:79].

Qiyamullail merupakan suatu ibadah yang biasa dilakukan oleh
orang-orang shalih terdahulu,”Hendaklah kamu sekalian mengerjakan
qiyamullail, sebab ia kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu
dan merupakan ibadah (taqarrub) kepada Tuhan kamu…”[HR. Ibnu
Khuzaimah]. Selain itu, Qiyamullail juga merupakan identitas
“’ibaadurrahmaan”, kelompok hamba Allaah yang penyayang,”..Dan
mereka itu apabila malam hari bersujud dan berdiri (shalat)
karena(ikhlas) kepada Tuhan mereka”[25:64].

Qiyamullail merupakan suatu ibadah yang memiliki beberapa keutaman
dan faedah bagi siapa saja yang melakukannya. Bangun di malam hari
untuk beribadah kepada Allaah akan memberikan bekas kepada jiwa.
Waktu itu sunyi dari keramaian dunia, senyap dari kesibukan urusan
serta sepi dari hiruk pikuk rutinitas keseharian, maka akan
timbullah ketentraman dan kekhusyuan yang mengantarkan kepada
keteguhan dan kekuatan jiwa serta kepribadian. Bila antara indera
lahiriyah telah seimbang denga indera bathiniyah (hati), maka akan
timbullah jalinan sikap yang tak mudah goyah, kokoh kuat tak mudah
tumbang. ”Sesungguhnya bangun pada malam hari (shalat) sangat
meneguhkan pendirian (jiwa) dan lebih meluruskan bacaan
(berkesan)”[73:6].

Secara umum shalat mencegah manusia dari berbuat kejahatan dan
kemungkaran[29:45]. Demikian pula faedah dari Qiyamullail adalah
pencegah dan penghapus dosa,” Hendaklah kamu sekalian mengerjakan
qiyamullail, sebab ia kebiasaan orang-orang shalih sebelum kamu
dan merupakan ibadah (taqarrub) kepada Tuhan kamu,juga penghapus
bagi perbuatan jahat dan pencegah dari perbuatan yang menyebabkan
dosa”[HR. Ibnu Khuzaimah].

Meraup kenikmatan merupakan keinginan setiap manusia. Lebih-lebih
kenikmatan abadi yang dijanjikan Allaah bagi hambanya yang
bertaqwa. Qiyamullail merupakan salah satu ibadah yang menyebabkan
seseorang masuk surga dengan aman sentosa, “Wahai manusia!
Sebarkanlah salam, berilah makan (orang yang lapar), sambunglah
tali kasih sayang antar keluarga dan dirikanlah shalat pada waktu
malam ketika manusia sedang tidur, kamu akan masuk surga dengan
aman sentosa”[HR. Tirmidzi}.

“Dan pada sebagian malam hendaklah kamu bertahajjud, sebagai
shalat tambahan bagimu, niscaya Tuhan-mu akan membangkitkan kamu
pada kedudukan (martabat) yang terpuji”[17:79]. Meskipun ayat ini
khitabnya kepada Rasulullaah saw, akan tetapi bukanlah termasuk
ibadah khushushiyah kepada beliau. Karena itulah Rasulullaah
menganjurkan umatnya untuk mengerjakan Qiyamullail. Bangun tengah
malam disaat sebagian manusia terlelap tidur merupakan hal yang
berat. Kemauan dan kebulatan tekad untuk melaksanakannya inilah
yang dinilai Allaah dengan menempatkan mereka yang melakukan
Qiyamullail ditempat yang terpuji di akhirat.

Al-Mughirah bin Syu’bah berkata,”Rasulullaah saw berdiri (shalat
pada waktu malam) sehingga kaki beliau bengkak. Maka beliau
ditanya; Bukankah Allaah telah mengampunimu dosa yang telah lalu
dan yang akan datang? Beliau menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku
menjadi seorang hamba yang bersyukur?”[HR. Bukhari-Muslim]. Bila
kita mencintai Rasulullaah saw, maka sepatutnya kita mengikuti
jejak langkahnya. Qiyamullail adalah jejak langkah Beliau sebagai
ungkapan syukurnya kepada Al-Khaliq. Akankah kita mengikuti jejak
langkah Beliau? Ringankah kita melakukannya?

“...Bangun sekejap di waktu terlelap (untuk Qiyamullail), tapi
sedikit orang melakukannya…”. Mudah-mudahan kita termasuk kepada
kelompok sedikit ini. Wallaahu a'lam.


Wassalaamu'alaikum,
I Do Y

Cinta sehidup semati, OK?

Assalaamu'alaikum,

Kata orang muda, cinta itu sulit didefinisikan namun tidak sulit untuk
diungkapkan. Katanya lagi, ungkapan cinta dapat saja disajikan melalui
materi, "zeg het met bloemen" misalnya, ataupun melalui rentetan kata
yang ditulis dalam sebuah lembaran/kartu dari hasil karya kita,
misalnya dalam lembaran thesis, " To my wife and my daughter for their
love, patience and understanding".

Adanya rasa cinta mencintai antara suami istri sangatlah diperlukan
dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Bahkan ia merupakan salah
satu modal utama dalam membina keharmonisan rumah tangga. Jika bahtera
rumah tangga kita selalu diselimuti oleh kebencian, diukir oleh
kemarahan, dan dirajut di atas benang kecemburuan yang berlebihan, maka
sudah pastilah bahtera kita akan menemui kerikil-kerikil tajam yang
kelak akan menghambat lajunya. Oleh karenanya, saling cinta dan kasih
sayang (mawaddah wa rahmah) yang merupakan karunia Ilahi, harus tetap
dijaga, dipelihara dan ditumbuh-kembangkan. Dengan mawaddah wa rahmah,
masing-masing pihak ingin saling menyenangkan dan membahagiakan, dan
masing-masing pihak saling menjaga dirinya dalam tindak maupun tutur
katanya, jangan sampai menyinggung atau melukai pihak lain. Alhasil,
dengan mawaddah wa rahmah berbagai persoalan yang dihadapinya akan
terasa mudah ditanggulangi, tiada bukit yang tidak bisa didaki, tiada
lembah yang tidak bisa dituruni, dan tiada lautan yang tidak bisa
diarungi.

Persoalannya, bagaimana merawat dan menumbuh-suburkan cinta tersebut?
Dengan menjalin cinta sehidup sematikah? Atau, sesudah ditinggal mati
oleh pasangannya, yang lain tidak akan kawin lagi dengan siapapun?
Tentu tidak demikian!

Cinta sejati tidak harus ditandai oleh ikatan janji sehidup semati.
Apalagi bagi seorang muslim yang telah berikrar "Sesungguhnya shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku sepenuhnya untuk mendambakan keridlaan
Allaah, Rabbul 'Alamiin". Cinta sejati bagi seorang muslim tidak boleh
bergeser sedikitpun dari landasan keimanannya kepada Allaah swt.
Kecintaannya kepada apa dan siapapun, termasuk kepada suami maupun
istri, tetap berorientasi kepada mendambakan keridlaan-NYa semata.
Bukan kepada keridlaan suami maupun istri. Mendambakan keridlaan Allaah
akan menuntun manusia ke arah kebaikan (ma'rufaat) dan menjauhkan dari
keburukan (mungkarat). Lebih dari itu, cinta yang berorientasikan
keridlaan Allaah akan menjadi 'aset' akhirat, karena ia akan merupakan
amal shalih. Berbeda halnya dengan cinta yang bersandarkan kepada
keridlaan manusia, belum tentu diridlai olehNya. Bahkan tidak jarang
kebahagiaan dan kesenangan manusia didominasi oleh 'mempertuhankan'
hawa nafsunya, yang pada gilirannya bisa bermuara kepada kesyirikan,
"Hidup dan matiku demi si Fulan/si Fulanah...", misalnya. Marilah kita
simak perjalanan hidup Ummul mu'minin yang satu ini bila dikaitkan
dengan persoalan cinta sehidup semati.

Sebelum menjadi istri Rasul, Ummu Salamah yang nama aslinya Hindun
binti Suhail, dipersunting oleh Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal yang
kemudian dikenal dengan julukan Abu Salamah. Gelar Ummu dan Abu Salamah
yang diberikan kepada mereka karena salah seorang dari empat anaknya
ada yang bernama Salamah. Ketika keluarga ini pergi berhijrak ke
Madinah, di tengah perjalanan anak kesayangannya (Salamah) dan ibunya
disandera oleh kaum dari kalangan sukunya sendiri, Bani Makhzum.
Penyanderaan ini mengundang amarah besar dari keluarga ayahnya, Bani
Asad. Peristiwa tersebut dikenal dengan 'Kasus Salamah", sehingga
Abdullah bin Asad kemudian dikenal dengan sebutan Abu Salamah. Demikian
pula denga Hindun binti Suhail dikenal dengan sebutan Ummu Salamah.

Suami istri ini termasuk sahabat Rasul yang amat setia. Keduanya
memiliki andil dalam mendukung perjuangan Rasul dalam melancarkan
da'wah Islam. Bahkan Abu Salamah pernah ditunjuk Rasul sebagai pemimpin
pasukan guna menghajar qabilahnya sendiri, Bani Asad, yang hendak
menyerang kaum muslimin usia perang Uhud.

Suatu ketika, sepulangnya dari pertempuran dengan Bani Asad, Abu
Salamah menderita sakit yang cukup parah. Sang istri, Ummu Salamah
dengan setia menungguinya. Rasul pun sering mengunjunginya. Ketika
kondisinya semakin kritis, untuk menunjukkan demikian cintanya kepada
sang suami, Ummu Salamah mengajaknya untuk saling berjanji:" Aku pernah
mendengar berita bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya,
kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, bila
setelah ditinggal mati oleh suaminya dia tidak kawin lagi dengan
siapapun. Demikian pula halnya suami, setelah ditinggal mati oleh
istrinya. Oleh karena itu, marilah kita saling berjanji: Bahwa Anda
tidak akan kawin lagi seandainya aku meninggal dunia lebih dahulu. Dan
akupun berjanji kepada Anda, bahwa aku tidak akan kawin lagi bila Anda
mendahului aku!". Bagaimana reaksi Abu Salamah atas ajakan istrinya
itu?Adakah dia menyetujuinya? Dengan tenang Abu Salamah balik bertanya
kepada istrinya:"Maukah Anda mengikuti saranku?" Ummu Salamah
menjawab:"Baik, saya bermusyawarah untuk mentaati". Lalu Abu Salamah
berkata:"Seandainya aku meninggal lebih dahulu, aku mengharap sebaiknya
Anda kawin lagi. Dan Aku mohon kepada Allaah, semoga Anda memperoleh
suami yang lebih dari aku. Kemudian abu Salamah pun berdo'a: "
Allaahumma urzuq umma Salamata ba'diy rajulan khairan minniy, Laa
yuhzinuhaa wa laa yu'dziihaa" (Ya Allaah karuniakanlah kepada Ummu
Salamah sepeninggalku nanti, seorang lelaki (suami) yang lebih baik
daripadaku, dia tidak menyusahkannya dan tidak pula menyakitinya).

Alkisah, selang beberapa hari kemudian Abu Salamah meninggal dunia.
Setelah ditinggal mati suaminya, Ummu Salamah merenung sambil berkata
dalam hatinya:"Darimana aku bisa mendapatkan untuk diriku orang yang
lebih baik dari Abu Salamah?". Lalu ia pun berdoa,"Ya Allaah
karuniakanlah kepadaku pahala yang berkaitan dengan musibah menimpaku,
dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya". Tiba-tiba setelah
masa iddahnya berakhir, Rasulullaah datang menemuinya dan meminangnya.

Demikianlah kisah menarik dari celah kehidupan Ummu Salamah dengan
suaminya. Jadi cinta sejati bagi seorang muslim harus tetap beredar
pada poros akidahnya:Iman kepada Allaah serta mendambakan keridlaanNya.
Dengan demikian kecintaannya kepada siapapun hendaknya bisa menumbuhkan
amal shalih yang pada gilirannya membuahkan 'hayatan thayyibah'. Jadi
cinta sehidup semati bila perwujudannya menyimpang dari ketentuan dan
nilai syari'at Islam, tentu saja tidak bisa dibenarkan.

Wallaahu a'lam,
Dari berbagai sumber...

Wassaalaamu 'alaikum,

I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Belajar dari Si 'Pedang Allaah'

Assalaamu'alaikum,

Bersikap ikhlash dalam setiap perilaku hidup kita memang tidak mudah.
Tidak semudah sebagaimana mengucapkannya dengan rangkaian kata-kata
yang indah. Untuk bersikap ikhlash, semata-mata mengharapkan keridhaan
Allaah swt, itu diperlukan landasan keimanan yang kokoh kepada-Nya,
karena keikhlashan ini terpancar dari lubuk hatinya. Hati yang telah
dipenuhi dengan akidah yang shahihah akan menjadi sumber yang subur
bagi tumbuhnya keikhlashan. Hati ini menjadi titik sentral dalam
menilai amal perbuatan seseorang, dan itu hanya bisa dilakukan oleh
Allaah swt. Sedangkan manusia terhadap sesamanya, tidak memiliki
kemampuan ini karena berbagai keterbatasannya. Manusia hanya bisa
menilai sesamanya berdasarkan aspek lahiriyahnya saja, bila hal itu
memang diperlukan. ?Nahnu nahkumu bi zhawaahir (Kita menghukum
(seseorang) berdasarkan lahiriyahnya saja[penulis])?, begitu anjuran
Rasulullaah saw ketika ada sahabat yang mencoba menilai hati seseorang.

Pernah Rasulullaah saw ditanya tentang orang yang berperang karena
ingin mendemonstrasikan keberaniannya, yang lain karena ingin
mati-matian membela kaumnya, dan yang satu lagi karena ingin namanya
populer dicatat dalam sejarah, siapa diantara mereka yang berjuang di
jalan Allaah? Rasulullaah menjawab,?Barangsiapa berjuang untuk
menegakkan Kalimah (Agama) Allaah yang luhur itu, maka dia itulah orang
yang berjuang di jalan Allaah?[ HR. Bukhari-Muslim]. Berjuang karena
menegakkan Agama Allaah dan mencari keridhaa-Nya, merupakan kunci
diterimanya amalan kita.

Marilah kita simak celah kehidupan seorang mujahid yang perlu kita
jadikan qudwah dalam soal keikhlashan, yaitu Khalid Ibnul Walid. Tentu
saja tinjauannya sebatas aspek lahiriyah saja. Soal hakikatnya
(kebenaran sejati) tentang keikhlashan Khalid, kita serahkan kepada
Allaah swt, Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Yang jelas, sekarang
ini kita kehilangan figur panutan dan pimpinan yang ikhlash dan jujur
yang mampu menggerakkan ummat menuju tegaknya 'Kalimatullaah Hiyal
'Ulya'.

Khalid Ibnul Walid yang pada mulanya memusuhi Islam dan kaum muslimin,
akhirnya berbalik menjadi penganut Islam yang setia, bahkan dengan
gigihnya ia berani menumpas musuh-musuh islam yang notabene
kawan-kawannya dulu sebelum dirinya masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, pada
awal tahun ke-8 H, dirinya menyatakan masuk Islam setelah akal sehatnya
mampu menangkap berbagai rahasia kebenaran Islam. Sebagai seorang
panglima perang yang berpengalaman, Khalid melihat adanya 'keajaiban'
dalam pasukan kaum Muslimin. Meski jumlah mereka relatif kecil
dibanding pasukan Quraisy, persenjataan dan pengalaman perang mereka
pun masih belum canggih, namun mereka senantiasa memperoleh kemenangan.
Bila mereka berada di tengah medan perang, mereka berpacu berburu untuk
meraih gelar kehormatan sebagai syahid. Mereka hanya mengenal dua
pilihan: hidup terhormat di bawah naungan Islam atau gugur sebagai
syahid.

Di sisi lain, Khalid melihat pula bahwa pertumbuhan dakwah Islam
bagaikan batu karang di tengah lautan. Semakin besar gelombang yang
menerpanya, semakin kokoh dan tegar. Semakin hebat perlawanan dan
tekanan kepada dakwah Islam, semakin kuat dan pesat pertumbuhannya.
Pengikut dan pendukungnya pun semakin bertambah. Inilah antara lain,
rahasia 'keajaiban' Islam yang ditangkap oleh akal sehat Khalid,
sehingga menggugah kesadarannya untuk memeluk Islam.

Kini Khalid telah menemukan jalan hidupnya yang benar, resmi berada di
barisan kaum Muslimin di bawah naungan komando Rasulullaah saw. Taqdir
Allaah, peluang emas pun datang. Peluang yang dimaksud adalah
pengerahan pasukan kaum Muslimin ke medan Muktah, untuk menghadapi
pasukan Romawi. Rasulullaah saw telah mengetahui akan kekuatan pasukan
yang akan dihadapinya. Karena itu, Rasulullaah saw lalu mempersiapkan
tiga orang komandan perang sekaligus. Pertama, Zaid bin Haritsah. Bila
ia gugur, diganti oleh komandan kedua, yaitu Ja'far bin abi Thalib.
Bila ia gugur pula, maka tampillah komandan ketiga yaitu Abdullaah bin
Rawahah. Sementara Khalid yang masih relatif baru keislamannya, menjadi
pasukan biasa (meskipun pengalamannya dalam berperang sangat banyak).

Perang pun dimulai. Ternyata, terjadilah apa yang telah diperkirakan
Rasulullaah saw. Satu persatu komandan yang telah ditunjuk Rasul
berguguran sebagai syahid. Dengan sendirinya bendera komando tidak ada
yang mengibarkannya. Pada saat kritis ini, tampillah Tsabit bin Arqam
mengambil inisiatif untuk menemui Khalid dan memintanya agar dia
bersedia tampil memegang bendera komando. Namun Khalid menolak, karena
masih ada di antara mereka orang yang berhak, baik dari kalangan
Muhajirin maupun Anshar terutama tokoh-tokoh yang pernah menyertai
Perang Badar. Lalu Tsabit bin Arqam meminta pendapat kaum Muslimin.
Ternyata mereka sepakat untuk menyerahkan bendera komando ke tangan
Khalid. Akhirnya dengan segala kerendahan hati Khalid pun menerima
amanah tersebut demi kejayaan Islam. Di bawah kepemimpinannya, Khalid
mampu mengendalikan dan menyelamatkan pasukan Muslimin yang nyaris
porak poranda. Sejak itulah Khalid diberi gelar oleh Rasulullaah saw
sebagai 'Saifullaah' (Si Pedang Allaah).

Di kali yang lain, pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid juga
diberikan kepercayaan oleh Abu Bakar untuk menanggulangi kesulitan yang
dihadapi pasukan kaum Muslimin di medan Yarmuk (Syam). Padahal di
tengah-tengah mereka terdapat sejumlah pendekar terkemuka, antara lain
Abu Ubaidah bin AlJarrah, 'Amr bin 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan juga
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ketika tiba di Yarmuk, Khalid langsung
mengadakan pertemuan dengan para pendekar tersebut untuk mengatur
strategi dan taktik yang hendak dilakukannya. Yang menarik adalah
pidato yang disampaikannya kepada segenap kaum muslimin: ? Hari ini
adalah hari-hari Allaah. Karenanya, tidak patut kita di sini
berbangga-bangga apalagi berbuat durhaka. Marilah kita berjihad dengan
ikhlash, mendambakan keridhaan-Nya semata. Soal kepemimpinan bisa
dilakukan secara bergiliran. Hari ini bisa si Fulan, besok orang lain,
dan demikian seterusnya, sehingga seluruhnya berkesempatan untuk
menjadi pimpinan...!?.

Kepemimpinan bagi Khalid adalah amanah sebagai salah satu sarana untuk
beribadah. Dia bukanlah berkah yang harus diperebutkan. Kualitas ibadah
dan perjuangan tidak terletak pada kedudukan dan jabatan, tapi terletak
pada keikhlashan, kejujuran dan keshabaran. Apakah tampil sebagai
komandan atau prajurit, pimpinan atau bawahan, bagi Khalid sama saja.
Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat
itu Khalifah ingin melakukan pergantian sejumlah komandan perang.
Khalid yang kala itu sedang memimpin pasukan kaum Muslimin di medan
perang menghadapai tentara Romawi, termasuk yang akan digantikan.
Sebagai penggantinya, Khalifah menunjuk Abu Ubaidah AlJarrah. Begitu
perintah penggantian datang, Khalid pun segera menyerahkan
kepemimpinannya kepada penggantinya. Selanjutnya, Khalid tetap berada
di barisan terdepan meski menjadi prajurit biasa. Pelengseran dirinya
dari pimpinan, sedikitpun tidak mengurangi daya jihadnya di medan
juang. Itulah sosok Si Pedang Allaah yang ikhlash dalam berjuang.

Ditampilkannya kembali sosok Khalin Ibnul Walid dalam tulisan ini,
semoga dapat menggugah kesadaran dan mendorong kita untuk senantiasa
berjuang di jalan Allaah dengan menyertakan sikap Ikhlash dalam
perbuatannya. Menjauhkan diri kita dari perbuatan meyebut-nyebut
kebaikan kita kepada sesama, serta menjauhkan diri dari 'give and take'
ketika kita menolong sesama.

Wallaahu a'lam, kepada Allaah lah kita memohon ampunan.

*)Disadur dari AlMuslimun no. 392

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Bahagia itu berpagar derita

Assalaamu'alaikum,

Nabiyullaah Musa as dilahirkan dalam kondisi sangat memprihatinkan.
Dilepas hanyut dalam sebuah peti oleh ibunya ke Sungai Nil karena takut
dibunuh oleh Fir'aun. Setelah besar diangkat menjadi Nabi. Kemudian
sekian lama ia menumpang di rumah ayah angkatnya sendiri, Fir'aun.
Namun datanglah petunjuk dari Allaah bahwa ayah angkatnya adalah musuh
baginya. Allaah mengujinyanya dengan kehidupan yang sungguh berat. Ia
muncul dari bangsa miskin, kemudian harus menempuh perjuangan di antara
kekafiran yang sangat kuat dan kokoh lagi besar.

Bagaimana penderitaan Nabi Yusuf as? Ia tidak disukai oleh orang-orang
yang semestinya memberikan kasih dan cintanya, yakni
saudara-saudaranya. Gejolak ini berlangsung sejak ia masih kecil.
Puncaknya ia dilempar ke dalam sumur yang gelap gulita dan pengap.
Diperdagangkan sebagai budak belian. Lalu dijebloskan ke penjara meski
ia tak pernah melakukan kejahatan sedikitpun.

Lihat pula Nabiyullaah Ya'qub as. Ia harus kehilangan anak yang
dicintainya, Yusuf dan Bunyamin. Ya'qub as tetap tegar, shabar dan
tidak berputus asa. Justru ia punya harapan besar di balik mushibah
yang dialaminya," Semoga Allaah mengembalikan anak-anakku itu
semuanya"[QS Yusuf 83].

Cermatilah Nabi Ibrahim as!. Cobaan apa yang melebihi cobaan kekasih
Allaah ini?. Imannya teruji dengan ujian berat yang tiada berbanding,
diperintahkan untuk menyembelih anak kandungnya sendiri.

Manakah yang lebih besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam
as? Ketika ia menikmati kesenagan surgawi dengan istrinya, lalu ia
diperintahkan untuk meninggalkannya.

Begitu pahit dan sakitnya derita Nabi Nuh as yang menyeru umat kepada
Islam, sementara istri dan anaknya tidak mau menjadi pengikutnya.
Bahkan ketika Allaah memerintahkan untuk naik perahu, anaknya tetap
menolak dan akhirnya tertelan dalam gulungan banjir.

Begitu pula dengan perjalanan hidup Luth asa, Isa as, Muhammda saw dan
Nabi-Nabi lainnya, mereka menemukan penderitaan demi kemulian
Risalahnya.

Pernahkah mereka mengeluh?Tidak.Mereka yakin bahwa iman kepada Allaah
memang menghendaki perjuangan, pengorbanan sekaligus keteguhan hati.
Mereka tidak terlalu menuntut kemenangan zhahir, karena memang mereka
selalu menang di alam bathin. Mereka memikul beban berat menjadi Rasul,
mengemban perintah Allaah, dan karena itulah mereka tempuh kesulitan.
Pertama, untuk membuktikan kecintaannya kepada Allaah, dan kedua untuk
menggembleng bathinnya agar semakin kokoh tak mudah roboh oleh celaan,
semakin kukuh tak gampang rubuh hanya karena ancaman, semakin kuat tak
bisa diperalat oleh iming-iming duniawi.

Bagaimana dengan kita?Kita sering berpikir, betapa berat dan kerasnya
perjalanan hidup ini. Terasa sempit di saat hati kita tak mampu lagi
menahan beban masalah. Terasa lunglai, lemah dan berat melangkahkan
kaki, tak kuat dan bingung menghadapi berbagai susana hidup yng sulit
dan membelit. Berat...Apalagi kedatangannya di luar perhitungan dan
dugaan. Akhirnya, kita tak lagi merasa mampu berdiri menopang beban
berat yang harus dipikul.

Tidak! Itu bukan tanda-tanda kelemahan yang harus disesali. Walaupun
manusia memang diciptakan dalam tabiat serba lemah, tapi ingatlah!
Allaah tidak akan pernah menimpaakan beban masalah kepada seseorang di
atas batas kemapuan orang tersebut meikulnya[QS AlBaqarah 286] dan
Allaah tidak akan menzhalimi hamba-Nya[QS AlImran 182].

Janganlah pernah lupa! Allaah menciptakan kehidupan tanpa janji bahwa
hari-hari kita akan berlalu tanpa sakit, berhias tawa tanpa kesedihan,
diselimuti senang tanpa kesulitan, terpancari matahari tanpa awan
gelap, diguyur hujan tanpa ancaman petir, kilat dan banjir. Tapi yang
pasti, jika kita mau, Allaah menjanjikan kita kekuatan agar kita mampu
melalui hari-hari dari hidup yang penuh romantika ini. Jika kita mau,
Allaah akan memberikan pelita supaya bisa meretas onak dan duri
kehidupan ini dengan selamat.

Keselamatan hidup ada pada seberapa mampu kita menjaga dan memelihara
jiwa dalam menempuh hidup. Nasehatilah jiwa, pahamkan keinginannya agar
tetap berada pada jalan Allaah, apapun keadaannya. Kembalikan bahwa
apapun yang dialami, itu adalah kehendak Sang Maha Kuasa, sesungguhnya
cobaan ini dari Allaah dan kita akan diuji dengannya, Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun.

Sedetikpun Allaah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Jika
Allaah berkehendak, tak ada yang dapat menghalangi turunnya pertolongan
dan bantuan-Nya. Masalahnya hanya ada pada proses turunnya pertolongan
itu. Karenanya, sekali lagi jangan pernah kalah oleh cobaan dan ujian.
Imam Syafi'fi pernah berkata," Seseorang tidak akan pernah merasa
tentram kecuali setelah ia diuji. Allaah telah menguji Nabi Nuh as,
Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Muhammad saw.
Ketika mereka bershabar, Allaah menentramkan mereka. Padahal tak
seorangpun menyangka bahwa mereka dapat terlepas dari ujian tersebut".

Kita tidak boleh meminta ujian kepada Allaah swt. Namun bila ujian itu
menghampiri kita, berbahagialah! Jadikan ia sarana yng mengingatkan
kita untuk segera memperbaiki diri. Semoga Allaah senantiasa menyertai
langkah-langkah kita.

*)sebagian diambil dari artikel Selamet Junaidi, Almuslimun no. 392,
selebihnya adalah coretan penulis.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'Lautern, Nov 2004

Tabayyun

Assalaamu'alaikum,

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu
hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti
dan meyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik
dalam hal hukum, kebijakan dan sebagainya hingga jelas benar
permasalahannya.

Tabayyun adalah akhlaq mulia yang merupakan prinsip penting dalam
menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan.
Hadits-hadits Rasulullaah saw dapat diteliti keshahihannnya antara lain
karena para ulama menerapkan prinsip tabayyun ini. Begitu pula dalam
kehidupan sosial masyarakat, seseorang akan selamat dari salah faham
atau permusuhan bahkan pertumpahan darah antar sesamanya karena ia
melakukan tabayyun dengan baik. Oleh karena itu, pantaslah Allaah swt
memerintahkan kepada orang yang beriman agar selalu tabayyun dalam
menghadapi berita yang disampaikan kepadanya agar tidak meyesal di
kemudian hari," Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
(tabayyun), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatan itu".

Bahaya meninggalkan tabayyun

1. Menuduh orang baik dan bersih dengan dusta.
Seperti kasus yang menimpa istri Rasulullaah saw yaitu Aisyah ra. Ia
telah dituduh dengan tuduhan palsu oleh Abdullaah bin Ubai bin Salul,
gembong munafiqin Madinah. Isi tuduhan itu adalah bahwa Aisyah ra telah
berbuat selingkuh dengan seorang lelaki bernama Shofwan bin Muathal.
Padahal bagaimana mungkin Aisyah ra akan melakukan perbuatan itu
setelah Allaah swt memuliakannya dengan Islam dan menjadikannya sebagai
istri Rasulullaah saw. Namun karena gencarnya Abdullaah bin Ubai bin
Salul menyebarkan kebohongan itu sehingga ada beberapa orang penduduk
Madinah yang tanpa tabayyun, koreksi dan teliti ikut menyebarkannya
hingga hampir semua penduduk Madinah terpengaruh dan hampir mempercayai
berita tersebut. Tuduhan ini membuat Aisyah ra goncang dan stress,
bahkan dirasakan pula oleh Rasulullaah saw dan mertuanya. Akhirnya
Allaah swt menurunkan ayat yang isinya mensucikan dan membebaskan
Aisyah ra dari tuduhan keji ini[baca QS Annuur 11-12].

2. Timbul kecemasan dan penyesalan.
Diantara shahabat yang terpengaruh oleh berita dusta yang disebarkan
oleh Abdullaah bin Ubai bin Salul itu adalah antara lain Misthah bin
Atsasah dan Hasan bin Tsabit. Mereka itu mengalami kecemasan dan
penyesalan yang dalam setelah wahyu turun dari langit yang menerangkan
duduk masalahnya. Mereka merasakan seakan-akan baru memsuki Islam
sebelum hari itu, bahkan kecemasan dan penyesalan tersebut tetap mereka
rasakan selamanya hingga mereka menemui Rabbnya[QS AlHujurat 6].

3. Terjadinya keslahfahaman bahkan pertumpahan darah.
Usamah bin Zaid ra bertutur: Rasulullaah saw telah mengutus kami untuk
suatu pertempuran, maka kami tiba di tempat yang dituju pada pagi hari.
Kami pun meyerbu musuh. Pada saat itu saya dan seorang dari kaum Anshar
mengejar salah seorang musuh. Setelah kami mengepungnya, musuh pun tak
bisa melarikan diri. Di saat itulah dia mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah. Temanku dari Anshar mampu menahan diri, sedangkan saya
langsung menghujamkan tombak hingga dia tewas. Setelah saya tiba di
Madinah, kabar itu sampai kepada Rasulullaah saw. Beliau bersabda:" Hai
Usamah, mengapa engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa Ilaaha
Illallaah?Saya jawab:" Dia mengucapkan itu hanya untuk melindungi
diri". Namun Rasulullaah saw terus mengulang-ulang pertanyaan itu,
hingga saya merasa belum pernah masuk Islam sebelumnya{HR.
Bukhari].(Dalam riwayat Muslim, Nabi saw bertanya kepada Usamah dengan
"Apakah kamu telah membedah hatinya?").

Hadits ini memberi pemahaman bahwa Nabi saw marah kepada Usamah bin
Zaid ra karena ia telah membunuh musuhnya yang telah mengucapkan Laa
Ilaaha Illallaah, hingga Nabi saw bertanya "Apakah engkau telah teliti
dengan jelas (tabayyun) sampai ke lubuk hatinya bahwa ia mengucapkan
Laa Ilaaha Illallaah itu karena ia takut senjata dan ingin melindungi
diri....dst?".

Penyebab tiada tabayyun

1. Pada masa kanak-kanak.
Sesorang yang hidup di bawah asuhan orang tua yang tidak memiliki sikap
tabayyun, maka sikap tersebut kelak akan meresap ke dalam jiwa anaknya
hingga akhirnya anak itupun menjadi potret dari kedua orang tuanya
yaitu tidak memiliki sikap tabayyun.

2. Tertipu oleh kefasihan kata.
Adakalanya telinga seseorang itu jika mendengarkan kata-kata manis dan
menarik lantas menjadi tertipu, padahal itu hanyalah rayuan dan
bunga-bunga perkataan, sehingga ia lalai dan tidak tabayyun. Karena
itulah Nabi saw bersabda tatkala merasakan gejala ini, "Sesungguhnya
kalian mengajukan perkara kepadaku, dan barangkali sebagian dari kamu
lebih pintar berbicara dengan alasan-alasannya daripada yang lain, maka
barangsiapa yang aku putuskan dengan hak saudaranya karena
kepintarannya bermain kata-kata, maka berarti aku telah mengambilkan
untuknya sepotong bara api neraka, maka janganlah ia mengambilnya"[HR.
Bukhari].

3. Lalai terhadap dampak buruknya.
Seseorang tidak menyadari bahaya buruk meninggalkan tabayyun. Padahal
akibatnya akan mencemarkan nama baik orang, penyesalan diri dll.

Terapi terhadap sikap tiada tabayyun

1. Senatiasa meningkatkan ketaqwaan, karena salahsatu di antara
keutamaan taqwa adalah Allaah akan memberikan 'Furqan' kepadanya, yaitu
kemampuan membedakan yang haq dari yang batil, yang benar dari yang
bohong[QS AlAnfal 29].

2. Bergaul dengan orang-orang yang memiliki sikap tabayyun. Hal ini
akan banyak memberi manfaat baginya kepada sikap kritis, penuh
pemikiran dan pertimbangan hingga ia selamat dari ketergelinciran dan
salah langkah dalam mengambil langkah dan tindakan.

3.Membaca, memahami,merenungi dan mengamalkan ayat-ayat yang membahas
tabayyun (misalnya AlHujurat 6, Annisaa 94).

4. Membiasakan diri untuk selalu berprasangka baik terhadap muslim
lainnya (QS. Annuur 12).

" Ya Allaah, lapangkanlah dada kami, tenangkanlah jiwa dan fikiran
kami, karuniakanlah sifat tabayyun pada diri kami, sehingga kami dapat
menyikapi semua berita yang sampai kepada kami dengan benar sesuai
kehendak-Mu".


Semoga bermanfaat.
Sumber:AlMuslimun n0.409.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'lautern, Nov 2004

Yu waf mi

Assalaamu'alaikum,

Waktu sebulan tanpa agenda yang jelas sungguhlah menjemukan, apalagi
bila jauh dari anak dan istri. Kegiatan harian hanyalah diisi dengan
makan, mandi, internetten dan tidur. Maar, Alhamdulillaah, setidaknya
penulis masih bisa rajin membuat coretan-coretan di milis ini. Bila
telah kembali berdinas nanti, nggak janji ah..., habis buanyaak sekali
rutinitas yang mesti dilakukan.

Hampir sebulan ini pula, penulis tidak bertatap muka dengan 'bintang '
kecil kami. Sun hangatnya, celotehannya, cubitannya dan rengekkannya,
hilanglah untuk sementara waktu. Yang ada, hanya secarik kertas yang
berisikan potret wajahnya tatkala ia berusia 3 bulan. Lumayan ah.. buat
penghangat dari dinginnya cuaca K'Lautern.

"A laf yu, yu waf mi", katanya di suatu pagi di saat kami berkumpul
dulu. Ucapannnya itu disertai dengan lenggokan kepala dan lambaian
tangannya. Wah, terus terang saja, penulis bingung sekali dengan
maksudnya." Ap..ap", katanya lagi (maksudnya menyuruh penulis berdiri,
yang ini kebetulan penulis mengerti). Kemudian kami pun melompat-lompat
sambil ia tak hentinya mencelotehkan kata-kata tersebut. Ketika ia
sudah cape, kami pun berhenti.

Rasa penasaran tadi kemudian penulis tanyakan kepada sang istri. Oh,
rupanya yang ia maksudkan dalam celotehannya tadi adalah lirik lagu
yang sering ia tonton dalam Barney cartoon show: I Love You, You love
me. Di saat lain, ia berceloteh, "Alo, Alo, Tuhan lain alo" (maksudnya
Allaah, Allaah, [tiada] Tuhan selain Allaah), menirukan lagu yang
ditontonnya di TV.

Anak kecil seusia dia (2+ thn) sepertinya sudah mulai belajar menirukan
apa yang dia lihat. Ketika ada kegiatan yang menyita perhatiannya,
biasanya ia merekamnya ke dalam otak yang kemudian ia mengungkapkannya
lagi melalui caranya sendiri. Secara umum, anak seusianya masih polos,
mudah terkena pengaruh, menyerap pengalaman apa saja tanpa timbang
pikir dan rasa. Apa yang didengar dan dilihatnya, ia tirukan saja tanpa
ada yang dirahasiakan.

Di dalam alquran, Allaah swt telah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur"[Annahl 78]. Demikian pula sebuah hadits diriwayatkan Imam
Muslim, yang sudah populer di kalangan kita, menyatakan 'Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikan anak
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi'. Berangkat dari kedua sumber ini,
maka dapatlah kita fahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak baik
menyangkut fisik, mental dan keagamaannya, dari fitrahnya menuju
perkembangan selanjutnya yang lebih baik dan matang tidaklah
semata-mata merupakan faktor instink/bawaan saja, melainkan sangat
bergantung pada proses pendidikan/bimbingan yang dilaluinya. Oleh
karenanya, anak-anak sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya
menaruh perhatian terhadap masalah pendidikannya. Jadi kalau ada orang
tua yang menyesali perbuatan anaknya karena berpindah agama, maka ia
harus introspeksi diri, penyesalan itu harus dikembalikan kepada
dirinya sendiri. Mengapa dulu ia tidak pernah memperhatikan pendidikan
bagi anak-anaknya.

Adalah suatu kewajiban orang tua untuk mengasuh, mengasihi, dan
mengasah anak-anaknya, tidak membiarkan mereka bebas bagaikan burung di
luar sangkar, sekaligus juga tidak mengekang mereka seperti macan di
dalam kandang besi yang sempit. Tetapi anak-anak dididik di rumah
dengan contoh-contoh teladan yang selaras dengan nilai-nilai keagamaan,
juga diikutsertakan dalam kegiatan keagamaan di tengah-tengah
masyarakat agar mental agama mereka berkembang dengan baik.

Untuk mendidik menjadi waladun shalih (anak yang shalih), ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan alam, agama, keluarga,
sekolah dan masyarakat. Nabi Adam as dan istrinya mendapat pendidikan
melalui alam dan agama (dari Allaah swt langsung). Namun anak-anaknya
kemudian mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, dan lingkungan alam
sekitarnya. Kabil menguburkan adiknya yang ia bunuh (Habil) setelah ia
menyaksikan seekor burung yang tngah mengorek-ngorek tanah untuk
mengubur burung lain yang sudah mati.

Manusia di jaman modern ini akan mendapat pendidikan dari ke lima
faktor di atas. Namun perlu disadari, untuk melaksanakan pendidikan
yang menunjang kepada pendidikan waladun shalih ini tantangannya sangat
besar. Setiap keluarga muslim hendaknya berusaha membentengi
anak-anaknya dengan pendidikan Islam sejak dini, menyangkut pendidkan
aqidah, agar anak mengenal Allaah dan tidak mempersekutukannya;
pendidikan amal shaleh dan mu'amalah, agar anak dapat berbuat baik
kepada sesamanya; pendidikan syariah dan ibadah, agar anak mempelajari
dan mau melaksanakan ibadah dalam rangka penghambaannya kepada Allaah
swt; pendidikan da'wah, agar anak mampu berbuat amar ma'ruf dan nahi
munkar; pendidikan akhlaq, agar anak berprilaku baik; dan pendidikan
shabar, agar anak tenang, kuat dan tabah dalam menghadapi kesempitan
hidup.

Cara pendidikan orang tua terhadap anaknya pada tahun-tahun awal
pertumbuhannya sangat memerankan bagian penting dalam mempengaruhi
pembinaan jiwanya. Apabila cara yang digunakan akan menimbulkan rasa
takut dan tidak aman pada anak dalam berbagai situasi dan
berulang-ulang, maka akibatnya mereka akan mengalami kegoncangan jiwa.
Menurut Musthafa Fahmi seorang ahli kesehatan dari Mesir, bahwa
diantara sebab-sebab terpenting dari kegoncangan jiwa anak antara
lain:(1) anak tidak mendapat pemeliharaan ibu; (2) anak merasa tidak
disayangi atau bahkan dibenci;(3) orang tua terlalu toleran pada
kesalahan anak;(4) perhatian yang berlebihan dalam menjaga anak;(5)
kekerasan orang tua terhadap anak dan kecenderungan bersikap otoriter
terhadap anak;(6) orang tua terlalu ambisius.

Bagaimanakah cara orang tua dalam menumbuhkan mental agama anak?
Menurut suatu sumber, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan.

Pendekatan pertama dalah pendekatan personal. Hal ini dilakukan dengan
cara mengenali perkembangan sifat, kebiasaan, perasaan dan alam pikiran
anak, kemudian membina mentalnya melalui hubungan harmonis sesuai
dengan tingkat perkembangan pribadi dan emosinya.

Pendekatan kedua adalah pendekatan moral agama. Hal ini dilakukan
dengan cara memberikan tauladan-tauladan kepada anak sesuai dengan
moral agama. Segi ucapan, perbuatan, pergaulan dan sikap hidup di rumah
tangga perlu dijiwai dengan nafas agama. Misalnya menyuruh anak
membiasakan membaca basamalah setiap memulai aktifitasnya dan hamdalah
ketika mengakhirinya.

Ketiga adalah pendekatan seremonial agama. Hal ini dilakukan agar anak
memiliki dorongan yang kuat untuk lebih mengembangkan minat agamanya.

Keempat adalah pendekatan akal. Hal ini dilakukan apabila anak telah
mulai berpikir kritis. Penanaman keyakina agama pada usia ini perlu
dibawakan secara lebih 'rasional', sesederhana mungkin dan jangan
menyulitkan anak.

Anak adalah suatu amanah yang dikaruniakan Allaah kepada hamba-Nya yang
dipilih. Amanah ini tidak sekedar pemberian tanpa tanggung jawab. Oleh
karenanya, pendekatan-pendekatan untuk menumbuhkan mental keagamaan
anak adalah suatu ikhtiar untuk melaksanakan amanah tersebut.
Pendekatan melalui 'love' dan 'respect' terhadap anak, perlu kita
tumbuhkan sebagai suatu kebiasaan agar anak kelak memiliki mental agama
yang tangguh.

Mohon do'anya, agar penulis mampu membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah yang melahirkan dzurriyyatan thayyibatan. Aamiin.


To my star,...semoga Iya'[ayah] mendidkmu dengan "A laf yu, yu waf mi".

Sumber bacaan: AlMuslimun no. 409.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'lautern ,Nov 2004

Shilaturrahim

Assalaamu'alaikum,

Shilaturrahim secara bahasa berasal dari kata Shilah yang berarti menyambung/menghubungkan, dan Rahimun yang berarti peranakan (rahim ibu), persaudaraan, hubungan nasab. Secara sederhana shilaturrahim dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan baik dengan ‘menyambungkan tali persaudaraan’ kepada sesama sebagai bukti kemuliaan jiwa, kebaikan hati dan ungkapan cinta kasih. Orang yang melakukan shilaturrahim disebut AlWaashil.

Shilaturrahim merupakan ciri kesempurnaan iman seseorang, sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra bahwasannya telah bersabda Rasulullaah saw, ”… Dan barangsiapa yang beriman kepada Allaah swt dan hari akhir, maka sambungkanlah rahim (bershilaturrahimlah)…”. [Fathul bariy, hadits no. 6138]. Hadits-hadits yang diawali dengan kalimat ‘barang siapa beriman kepada Allaah swt dan hari akhir , maka …”, misalnya maka muliakanlah tetangganya atau maka muliakanlah tamunya, menunjukkan bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bentuk-bentuk perangai yang dapat dijadikan ukuran bagi kualitas keimanan seseorang. Ketika seseorang tidak mampu melakukannya, maka berkuranglah kadar imannya. “Iman itu seperti AlQamiish (pakaian), sesekali orang memakainya (pakaian) dan sesekali orang menanggalkannya” (riwayat Abdullaah bin Rawahah dan abu Darda ra). Iman seseorang akan bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Shilaturrahim merupakan amalan yang dapat menyambungkan seseorang dengan pahala surga. Ketika seorang arab datang menghampiri Nabi saw dan memohon untuk diberikan wasiat yang dapat mendekatkannya kepada pahala surga dan menjauhkannya dari siksa neraka, maka Nabi saw memerintahkan bersilaturrahim sebagai salah satu wasilahnya, ”Berbaktilah kepada Allaah swt dan jangan mempersekutukannya dengan sesuatupun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan bershilaturrahimlah” [Aladab-Almufrad, hadits no. 49].

Allaah swt akan menyambungkan (memberikan rahmat dan ridhonya) kepada mereka yang bershilaturrahim. Dari abdurrahman bin Auf ra, sesungguhnya dia telah mendengar Rasulullaah saw bersabda,” Allaah azza wa jalla telah berfirman: Aku adalah Arrahman, dan Aku telah menciptakan Arrahim, dan Aku membagi kepadanya dari namaKu, barangsiapa yang menyambungkannya, maka Aku akan menyambungkan (ArRahman) kepadanya, dan barangsiapa yang memutuskannya, Aku akan putuskan (ArRahman) kepadanya” [Aladab-Almufrad, hadits no. 53].

Seseorang yang senatiasa menjaga shilaturrahim maka akan diluaskan rizkinya, dipanjangkan umurnya dan dicintai oleh keluarganya [AlAdab Almufrad, hadits no.59]. Maksud dari dipanjangkan umurnya, selain dari arti dzahirnya menurut Ibnu Hajar adalah kinayah bagi umur yang barakah (di dunia dan akhirat) dikarenakan menggunakan umurnya tersebut dengan amalan keta’atan kepada Allaah swt yang bermanfa’at untuk kepentingan akhirat.

Bershilaturrahim merupakan cerminan akhlaq baik seseorang kepada sesamanya. Berdasarkan QS 4:36, ada lima kelompok manusia yang berhak untuk disambungkan ‘rahim’nya. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kesamaan pernasaban, yaitu orang tua dan saudara-saudara terdekat. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa memberikan shadaqah kepada orang miskin adalah (mendapatkan pahala) shadaqah, dan kepada saudara dekat adalah (mendapatkan pahala) shadaqah dan shilaturrahim.

Kelompok kedua adalah mereka yang memiliki kelemahan, yaitu anak yatim dan orang miskin. Anak yatim memiliki kelemahan badannya [kuasanya] dikarenakan mereka telah ditinggalkan mati oleh orang tuanya [ayahnya] dan terputus dari nafkah keluarganya. Orang miskin memiliki kelemahan atas kekurangan hartanya.

Kelompok ketiga adalah mereka yang dikenal melalui pergaulan, yaitu Aljar dzilQurbaa (tetangga dekat), Aljar dziljunub (tetangga jauh) dan Ashshaahib biljanbi (sahabat sejalan). Para ulama berbeda penafsiran mengenai maksudnya. Sebagian diantaranya menafsirkan tetangga dekat sebagai mereka yang tempat tinggalnya dekat, sedangkan tetangga jauh adalah mereka yang tempat tingalnya jauh. Menurut Azzuhri ukuran tetangga dekat adalah 40 rumah dari depan belakang dan samping rumah. Sebagian ulama mengartikan tetangga dekat adalah kaum muslimin, sedangkan tetangga jauh adalah orang Yahudi dan Nashrani (yang tidak menampakkan permusuhan). Sedangkan sahabat sejalan, sebagian ulama menafsirkannya sebagai istri (pasangan suami), sebagian lagi sebagai sahabat/kawan satu perjalanan (arrafiiq fisafar).

Kelompok keempat adalah mereka yang kehabisan perbelanjaan dalam perjalanannya, yaitu Ibnu Sabil (anak jalan). Mereka adalah musafir yang kehabisan bekalnya. Sebagian ulama menambahkan bahwa mereka adalah musafir yang mampir sebagai tamu sementara di rumah seseorang. Pendapat lain menambahkan kepadanya anak-anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya dan orang–orang yang mengembara buat keperluan Islam dan kaum muslimin.

Kelompok kelima adalah mereka yang dimiliki kemerdekaannya (Hamba sahaya). Ketika di penghujung ajalnya, Rasulullaah saw mewasiatkan agar berlaku baik kepadanya,” Shalat, shalat, dan apa-apa yang menjadi kuasamu (hamba sahaya)” [Ibnu Majah, Ahmad dll]

Amalan yang berlawanan dengan shilaturrahim adalah qath’urrahim (memutuskan hubungan). Orangnya disebut AlQaathi’. Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im ra, sesungguhnya dia mendengar Rasulullaah saw bersabda,” Tidak masuk surga, qaathi’urrahim (pemutus rahim)”. [AlAdab AlMufrad, hadits no.64]. Dalam kitab yang sama ( hadits no.63, hadits dhaif menurut AlBani) disebutkan bahwa sesungguhnya rahmat Allaah tidak akan diturunkan kepada kaum yang padanya terdapat qaathi’urrahim.

Saling menutup aib, berani mema’afkan atas kesalahan orang lain (sebagaimana kisah Yusuf as), berbaik sangka, tidak menghina dan meremehkan merupakan contoh-contoh praktis yang dapat dilakukan sebagai wujud dari shilaturrahim. Bahkan, sekedar menampakkan muka berseri kepada saudara kita sudah tercatat sebagai alma’ruf (kebaikan),” janganlah kalian meremehka sebuah kebaikan, walaupun engku bertemu saudaramu dengan menampakkan muka berseri,”[Mukhtashor Shahih Muslim, hadits no. 1782]. Dalam riwayat Tirmidzi dijelaskan bahwa Rasulullaah saw telah bersabda, “ Bukanlah alWaashil itu (menyambungkan rahim) kepada yang setara, akan tetapi dia adalah orang yang apabila diputuskan hubungannya maka dia akan menyambungkannya.”

Hidup ini tidak senantiasa ‘lembut’, terkadang kita harus melewati ‘kerikil-kerikil’ yang menghadang di perjalanan. Seseorang datang kepada Rasulullaah saw dan mengadukan perillaku kerabatnya. Sesungguhnya dia memiliki kerabat, dia telah berupaya bershilaturrahim kepadanya tetapi mereka memutuskannya, dia telah berupaya berbuat baik kepadanya tetapi mereka membalasnya dengan keburukan, mereka telah berlaku jahil kepadanya tetapi diriknya tetap berlaku santun kepada mereka”. Kemudian Rasulullaah saw bersabda,”Sekiranya mereka sebagaimana yang engkau katakan, maka sesungguhnya engkau telah memasukkan ke mulut mereka bara panas, dan senantiasa bersamamu pertolongan dari Allaah jika engaku tetap melakukannya,” [AlAdab AlMufrad, hadits no. 52].

Shilaturrahim tidaklah menuntut penyediaan waktu khusus, misalnya di waktu lebaran saja. Akan tetapi kapan dan dimanapun maka kita bisa melaksanakannya. Mudah-mudahan kita senantiasa mampu untuk menjaga hubungan ‘rahim’ diantara kita..

Sumber: AlAdab AlMufrad (Imam Bukhari), SubulusSalaam (AshShan’aani), Fathul Bariy (Ibnu Hajar), Tafsir AlQur’an (Ibnu Katsir), Jaami’ Al’Ulum wa AlHikam (Ibnu Rajab).

Wassalaam,
I Do Y

Eindhoven 050103

Dari penggalan kisah Ayyub as

Assalaamu'alaykum,

Adakah diantara pembaca yang belum pernah merasakan sakit? Penulis
yakin bahwa pembaca pernah merasakannya, setidaknya pernah merasakan
sakit karena terantuk batu sewaktu berjalan.

Sehat dan sakit adalah dua pasangan yang senantiasa menghiasi episode
kehidupan manusia. Tatkala kita sehat maka tak jarang kita melupakan
nikmatnya, bahkan terkadang tak pernah terpikir bahwa kita akan bertemu
dengan ‘si sakit’. Sedangkan ketika kita sakit, maka kita senantiasa
merindukan tibanya ‘si sehat’.

Menurut kisah yang tercatat, Ayyub as adalah seorang yang mempunyai
banyak kekayaan dengan aneka ragam wujudnya, baik binatang ternak
maupun tanah pertanian. Di samping itu, ia mempunyai anak dan anggota
keluarga yang sangat banyak. Lalu semua kekayaan yang dimilikinya itu
diambil darinya, fisiknya diuji dengan berbagai macam penyakit,
sehingga tidak ada satupun anggota tubuhnya yang sehat kecuali lidah
dan hatinya yang senantiasa berdzikir kepada Ilahi. Dengan
penderitaannya itu, dirinya tetap sabar dan tabah serta tetap berdzikir
kepadaNYA pada siang dan malam, pagi dan sore hari.

Penyakit yang dideritanya itu berlangsung cukup lama hingga ia
dikucilkan dan diusir dari kampungnya.Tidak ada seorangpun yang menaruh
belas kasihan kepadanya kecuali istrinya saja, dimana ia selalu
memberikan perhatian yang dalam, dan ia tidak melupakan dan tetap
menghargai kebaikan dan kasih sayang Ayyub as di masa-masa yang
dibutuhkannya.

Suatu ketika keadaan istrinya semakin lemah dan kekayaannya pun semakin
menipis hingga ia berencana bekerja pada orang lain untuk dapat memberi
makan suaminya dan mengobatinya. Namun tidak ada orang yang mau
menerimanya bekerja, karena mereka mengetahui bahwa ia adalah isteri
Ayyub as sehingga mereka khawatir akan tertular. Ketika ia tidak
mendapatkan seorang pun yang mau menerimanya bekerja, maka ia pun
menjual kepangan demi kepangan rambutnya kepada beberapa puteri
orang-orang terhormat dan ditukar dengan makanan yang enak lagi banyak.
Setelah ia membawanya kepada Ayyub as, kemudian Ayyub as menanyakan
asal makanan tersebut dan bersumpah untuk tidak memakannya sebelum
istrinya menjawab pertanyaannya. Kemudian isterinya membuka penutup
kepalanya, dan ketika melihat kepala isterinya tidak berambut, Ayyub as
berucap,”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan yang Maha Penyayang diantara semua penyanyang”.

Allaah Azza wa Jalla adalah Maha Pemurah akan rahmatNya. Kesabaran dan
ketabahan Ayyub as akhirnya membuahkan hasil. Kemudian Allaah swt
memperkenankan seruannya dan melenyapkan penyakit darinya, serta
mengembalikan keluarganya dan melipatkan bilangannya [AlAnbiya 84].

Kisah Ayyub as adalah sebuah cermin bagi kehidupan insan di alam ini.
Seseorang akan diuji sesuai dengan kemampuannya dan tingkat
keteguhannya berpegang kepada agamanya. Ujian dan cobaan yang
dipikulnya, tidaklah mengantarkan kepada keputusasaan melainkan
menambah kesabaran, ketabahan, dan syukur kepada Sang Maha Penguji.

Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah, tidak ada daya dan
upaya kecuali atas pertolonganNYA. Jadikanlah sakit yang kita derita
menjadi lahan untuk meraih rahmatNYA.
---

‘tuk yang sedang terbaring, penulis haturkan do’a: “Allaahumma
rabbannaasi, mudzhibalba’si, asyfi anta syaafiy, Allaahumma la syafiya
illaa anta syifaa-an, laa yughaadiru saqaman (Ya Allaah, tuhan semua
manusia, jauhkanlah penyakit itu dan smbuhkanlah dirinya, Engkaulah
yang meyembuhkan, Ya Allaah tak ada obat selain obatMU, obat yang tidak
meninggalkan sakit lagi)”.


Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2003

Karena kita memang lemah

Assalaamu'alaikum,

Kesuksesan senantiasa dinantikan. Namun terkadang perjalanannya
diselingi oleh kegagalan. Karena memang Sang Maha Kuasa menciptakannya
berpasangan.

Pernahkah kita memperhatikan seorang bayi yang baru dilahirkan? Ketika
matanya masih tertutup, darah masih melumuri tubuhnya, maka hanya
tangisan yang bisa dilakukannya. Jangankan untuk membalikkan badannya,
untuk bergeserpun dirinya masih memerlukan bantuan orang lain.

Menurut AlQur’an, manusia diciptakan dari sesuatu yang tidak layak
untuk disebutkan, ‘lam yakun syaian madzkuuran’[AlInsan 1]. Adam as
telah diciptakan dari tanah. Sebelum ditiupkan ruh kepadanya, maka
tanah hanyalah tanah, barang yang tidak ada nilainya sama sekali.
Kemudian Allaah menciptakan pasangannya dari bagian tubuh Adam as. Dari
pasangan tersebut, kemudian Allaah swt menciptakan keturunannya dari
barang yang tidak berharga pula, yaitu air mani. Melalui percampuran
milik keduanya, maka terlahirlah Qabil, Iklima, Habil, Labuda dan
manusia berikutnya.

Manusia telah diciptakan dari sesuatu yang lemah [tidak berharga].
Karena kuasaNya, manusia tumbuh dan berkembang menjadi makhluq yang
memiliki daya. Dikaruniakannya bekal hidup berupa pendengaran,
penglihatan dan akal. Ditunjukkannya dua jalan hidup yang menjadi
pilihannya, yaitu jalan kebaikan dan jalan keburukan. Diberikannya
pilihan untuk bersyukur atau kufur. Disampaikannya balasan pahala atau
siksa atas jalan pilihannya.

Di penghujung hidupnya kelak, manusia kembali akan mengalami kelemahan.
Daya pendengarannya menjadi berkurang, daya penglihatannya berangsur
buram, dan daya ingatnya berganti dengan pikun. Demikianlah manusia,
diawali dari sesuatu yang lemah dan berakhir pula dengan kelemahan.

Ketika seorang insan menyadari bahwa dirinya adalah makhluq yang lemah,
maka dia akan senatiasa berserah diri kepada ketentuan Ilahi. Apakah
kesuksesan ataukah kegagalan yang diterimanya, maka dirinya akan
senantiasa berbaik sangka kepada Sang Pencipta. ‘Sungguh mengagumkan
pribadi seorang mukmin, manakala kesuksesan diraihnya, maka dirinya
akan bersyukur. Manakala kegagalan menimpanya, maka keshabaran
dipilihnya’. Demikian Nabi menggambarkannya.

Ketika seorang insan menyadari bahwa dirinya adalah makhluq yang lemah,
maka dia akan senantiasa mengembalikan segalanya kepada sang Rabbi. ‘La
haula wala quwwata, Illa billaah’, demikianlah ucapan yang akan keluar
dari mulutnya.

Ketika seorang insan menyadari bahwa dirinya adalah makhluq yang lemah,
maka dia akan selalu optimis terhadap ketentuan yang dituliskan
olehNya. ‘Aku berada diantara persangkaan hambaKu. Bila dirinya
bersangka baik kepadaKu, maka Aku akan berikan kebaikan kepadanya.
Bila dirinya bersangka buruk kepadaKu, maka Aku akan timpakan pula
keburukan kepadanya,’ Demikian menurut sebuah hadits.

Semoga kita dapat senantiasa memelihara sifat shabar dan syukur dalam
menghadapi segala ketentuanNya.

--
‘ntuk sang kawan, semoga tetap bershabar, Inna ma’a al’Usri yusran.
--

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2002

KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA AL-QURAN

Oleh : A.Yamani Syamsuddin*

Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan
problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah
atau keagamaan.

Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu
a`lam bi muradihi" (Allah yang mengetahu maksudnya). Tetapi ini
tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu,
sedikit demi sedikit sikap itu berubah dan para mufasir akhinya beralih
pandangan dengan jalan menggunakan ta`wil, tamsil atau metafora.
Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan
pen-ta`wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.


Al-Jahiz (225H/88M) seorang ulama beraliran rasional dalam bidang
teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran
metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis
pada ayat-ayat Al-Quran. Dan dalam hal ini, harus diakui bahwa dia
telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan,
sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan
atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.

Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah
(276H/889M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional dan bahkan
dinilai sebagai "juru bicara Ahl As-Sunah". Namun, dia menempuh
cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks
keagamaan.

Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta`wil tanpa didukung oleh
syarat-syarat tertentu. Asy-Syatibi mengemukakan dua syarat pokok bagi
pen-ta`wil-an ayat-ayat Al-Quran :

Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui
oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal
oleh bahasa arab klasik (turats).

Syarat yang dikemukakan ini lebih ringan dari syarat kelompok
Al-Zahiriah yang dinyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus
telah dikenal secara populer oleh masyarakat arab pada masa awal.

Dalam syarat Asy-Syatibi diatas, terbaca bahwa popularitas arti
kosakata tak disinggug lagi. Bahkan lebih jauh lagi Asy-Syatibi
menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus atau musytarak (
mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan
bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan
lainnya).

Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta`wil-an,
sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan
dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta`wil-an dengan kata yang
di-ta`wil-kan. Karena itu kata jin yang berarti "sesuatu yang
tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha "sebagai kuman yang
tertutup" (yang tidak terlihat oleh pandangan mata).

Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi` yang secara tegas
menyatakan bahwa "pengetian kata jin tidak harus dipahami sebatas pada
apa yang dipahami tentang makhluk-makhuk halus yang "tampak" pada saat
ketakutan seseorang pada malam hari atau ilusinya". Tetapi,
pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup
di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau dan yang berada
diluar alam manusia dimana kita berada.

Ta`wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam
memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan dewasa ini dan
masa-masa yang akan datang.

Sebelum menutup tulisan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah
tepat men-ta`wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan
akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat,
lebih-lebih bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan.
Karena hal ini berarti mengabaikan ayat-ayat itu sendiri. Wallahu a'lam


* Penulis adalah Mahasiswa Faculty of Islamic Studies and Arabic
lenguages' of al-Azhar University Cairo Egypt.

TATA CARA SHALAT ID

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari

-----------------------------------------------------------------------
Pertama : Jumlah raka'at shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar
radhiyallahu 'anhu.
"Artinya : Shalat safar itu ada dua raka'at, shalat Idul Adha dua
raka'at dan shalat Idul Fithri dua raka'at. dikerjakan dengan sempurna
tanpa qashar berdasarkan sabda Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam"
[Dikeluarkan oleh Ahmad 1/370, An-Nasa'i 3/183, At-Thahawi dalam Syarhu
Ma'anil Al Atsar 1/421 dan Al-Baihaqi 3/200 dan sanadnya Shahih]

Kedua : Rakaat pertama, seperti halnya semua shalat, dimulai dengan
takbiratul ihram, selanjutnya bertakbir sebanyak tujuh kali. Sedangkan
pada rakaat kedua bertakbir sebanyak lima kali, tidak termasuk takbir
intiqal (takbir perpindahan dari satu gerakan ke gerakan lain,-pent)

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata :
"Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertakbir dalam shalat Idul Fithri dan Idul Adha, pada rakaat pertama
sebanyak tujuh kali dan rakaat kedua lima kali, selain dua takbir ruku"
[1]
Berkata Imam Al-Baghawi :
"Ini merupakan perkataan mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan
orang setelah mereka, bahwa beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
bertakbir pada rakaat pertama shalat Id sebanyak tujuh kali selain
takbir pembukaan, dan pada rakaat kedua sebanyak lima kali selain
takbir ketika berdiri sebelum membaca (Al-Fatihah). Diriwayatkan yang
demikian dari Abu Bakar, Umar, Ali, dan selainnya" [Ia menukilkan
nama-nama yang berpendapat demikian, sebagaimana dalam " Syarhus Sunnah
4/309. Lihat 'Majmu' Fatawa Syaikhul Islam' 24/220,221]

Ketiga : Tidak ada yang shahih satu riwayatpun dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya bersamaan
dengan mengucapkan takbir-takbir shalat Id[2] Akan tetapi Ibnul Qayyim
berkata : "Ibnu Umar -dengan semangat ittiba'nya kepada Rasul-
mengangkat kedua tangannya ketika mengucapkan setiap takbir" [Zadul
Ma'ad 1/441]

Aku katakan : Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam.

Berkata Syaikh kami Al-Albani dalam "Tamamul Minnah" hal 348 :
"Mengangkat tangan ketika bertakbir dalam shalat Id diriwayatkan dari
Umar dan putranya -Radhiyallahu anhuma-, tidaklah riwayat ini dapat
dijadikan sebagai sunnah. Terlebih lagi riwayat Umar dan putranya di
sini tidak shahih.

Adapun dari Umar, Al-Baihaqi meriwayatkannya dengan sanad yang dlaif
(lemah). Sedangkan riwayat dari putranya, belum aku dapatkan sekarang"

Dalam 'Ahkmul Janaiz' hal 148, berkata Syaikh kami :
"Siapa yang menganggap bahwasanya Ibnu Umar tidak mengerjakan hal itu
kecuali dengan tauqif dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
silakan ia untuk mengangkat tangan ketika bertakbir".

Keempat : Tidak shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu
dzikir tertentu yang diucapkan di antara takbir-takbir Id. Akan tetapi
ada atsar dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu [3] tentang hal ini. Ibnu
Mas'ud berkata :
"Artinya : Di antara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan
kepada Allah Azza wa Jalla"
Berkata Ibnul Qoyyim Rahimahullah :
"(Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) diam sejenak di antara dua
takbir, namun tidak dihapal dari beliau dzikir tertentu yang dibaca di
antara takbir-takbir tersebut".

Aku katakan : Apa yang telah aku katakan dalam masalah mengangkat kedua
tangan bersama takbir, juga akan kukatakan dalam masalah ini.

Kelima : Apabila telah sempurna takbir, mulai membaca surat Al-Fatihah.
Setelah itu membaca surat Qaf pada salah satu rakaat dan pada rakaat
lain membaca surat Al-Qamar[4] Terkadang dalam dua rakaat itu beliau
membaca surat Al-A'la dan surat Al-Ghasyiyah[5]

Berkata Ibnul Qaooyim Rahimahullah :
"Telah shahih dari beliau bacaan surat-surat ini, dan tidak shahih dari
belaiu selain itu"[6]

Keenam : (Setelah melakukan hal di atas) selebihnya sama seperti
shalat-shalat biasa, tidak berbeda sedikitpun. [7]

Ketujuh : Siapa yang luput darinya (tidak mendapatkan) shalat Id
berjama'ah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at.
Dalam hal ini berkata Imam Bukhari Rahimahullah dalam "Shahihnya" :
"Bab : Apabila seseorang luput dari shalat Id hendaklah ia shalat dua
raka'at" [Shahih Bukhari 1/134, 135]
Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari" 2/550 berkata setelah
menyebutkan tarjumah ini (judul bab yang diberi oleh Imam Bukhari di
atas).

Dalam tarjumah ini ada dua hukum :
Disyariatkan menyusul shalat Id jika luput mengerjakan secara
berjamaah, sama saja apakah dengan terpaksa atau pilihan.
Shalat Id yang luput dikerjakan diganti dengan shalat dua raka'at
Berkata Atha' : "Apabila seseorang kehilangan shalat Id hendaknya ia
shalat dua rakaat" [sama dengan di atas]

Al-Allamah Waliullah Ad-Dahlawi menyatakan :
"Ini adalah madzhabnya Syafi'i, yaitu jika seseorang tidak mendapati
shalat Id bersama imam, maka hendaklah ia shalat dua rakat, sehingga ia
mendapatkan keutamaan shalat Id sekalipun luput darinya keutamaan
shalat berjamaah dengan imam".

Adapun menurut madzhab Hanafi, tidak ada qadla[8] untuk shalat Id.
Kalau kehilangan shalat bersama imam, maka telah hilang sama sekali"[9]

Berkata Imam Malik dalam 'Al-Muwatha' [10]
"Setiap yang shalat dua hari raya sendiri, baik laki-lai maupun
perempuan, maka aku berpendapat agar ia bertakbir pada rakaat pertama
tujuh kali sebelum membaca (Al-Fatihah) dan lima kali pada raka'at
kedua sebelum membaca (Al-Fatihah)"

Orang yang terlambat dari shalat Id, hendaklah ia melakukan shalat yang
tata caranya seperti shalat Id. sebagaimana shalat-shalat lain
[Al-Mughni 2/212]

Kedelapan : Takbir (shalat Id) hukumnya sunnah, tidak batal shalat
dengan meninggalkannya secara sengaja atau karena lupa tanpa ada
perselisihan [11] Namun orang yang meninggalkannya -tanpa diragukan
lagi- berarti menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.


--------------------------------------------------------------------------------

Disalin dari buku Ahkaamu Al'Iidaini Fii Al Sunnah Al Muthahharah,
edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan
bin Ali Abdul Hamid Al-halabi Al-Atsari hal. 23-24, terbitan Pustaka
Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Husein

--------------------------------------------------------------------------------

Foote Note.
[1]Riwayat Abu Daud 1150, Ibnu Majah 1280, Ahmad 6/70 dan Al-Baihaqi
3/287 dan sanadnya Shahih. Peringatan : Termasuk sunnah, takbir
dilakukan sebelum membaca (Al-Fatihah). sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan Abu Daud 1152, Ibnu Majah 1278 dan Ahmad 2/180 dari Amr
bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya, kakeknya berkata : "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat Id tujuh kali pada
rakaat pertama kemudian beliau membaca syrat, lalu bertakbir dan ruku'
, kemudian beliau sujud, lalu berdiri dan bertakbir lima kali, kemudian
beliau membaca surat, takbir lalu ruku', kemudian sujud". Hadits ini
hasan dengan pendukung-pendukungnya. Lihat Irwaul Ghalil 3/108-112.
Yang menyelisihi ini tidaklah benar, sebagaimana diterangkan oleh
Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma'ad 1/443,444

[2]Lihat Irwaul Ghalil 3/112-114
[3]Diriwayatkan Al-Baihaqi 3/291 dengan sanad yang jayyid (bagus)
[4]Diriwayatkan oleh Muslim 891, An-Nasa'i 8413, At-Tirmidzi 534 Ibnu
Majah 1282 dari Abi Waqid Al-Laitsi radhiyallahu 'ahu.
[5]Diriwayatkan oleh Muslim 878, At-Tirmidzi 533 An-Nasa'i 3/184 Ibnu
Majah 1281 dari Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu.
[6]Zadul Ma'ad 1/443, lihat Majalah Al-Azhar 7/193. Sebagian ahli ilmu
telah berbicara tentang sisi hikmah dibacanya surat-usrat ini, lihat
ucapan mereka dalam 'Syarhu Muslim" 6/182 dan Nailul Authar 3/297
[7]Untuk mengetahui hal itu disertai dalil-dalilnya lihat tulisan
ustadz kami Al-Albani dalam kitabnya 'Shifat Shalatun Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kitab ini dicetak berkali-kali. Dan lihat risalahku
'At-Tadzkirah fi shifat Wudhu wa Shalatin Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, risalah ringkas.
[8]Tidak dinamakan ini qadla kecuali jika keluar dari waktu shala
secara asal.
[9]Syarhu Tarajum Abwabil Bukhari 80 dan lihat kitab Al-Majmu 5/27-29
[10]Nomor : 592 -dengan riwayat Abi Mush'ab.
[11]Al-Mughni 2/244 oleh Ibnu Qudamah

Biasa-biasa saja

Assalaamu'alaikum warahmatullaah,

Allaah swt telah berfirman dalam surat Faathir [35] ayat 32: "Kemudian Kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba
Kami, lalu di antara mereka ada yang 'dzaalimun linafsihi' dan di antara mereka
ada yang 'muqtasidun' dan di antara mereka ada (pula) yang 'saabiqun
bilkhairaat' dengan izin Allaah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar."

Dalam ayat 31 Allaah swt menegaskan bahwa AlKitab [Alqur'an] adalah AlHaq,
sesuatu yang benar dan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Kemudian dalam ayat 32 Allaah swt telah mewariskan[memberikan] Alkitab tsb
[AlQur'an] kepada orang-orang yang dipilih dari hamba-hambanya. Telah berkata
'Ali Ibnu Abii Thalhah dari jalan Ibnu 'Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami" adalah ummat Muhammad saw. Selanjutnya Allaah
swt menjelaskan bahwa hamba-hamba yang diwarisi AlKitab tsb terbagi menjadi
tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah mereka yang termasuk kepada 'Adz-dzaalimu linafsihi.
Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang[haram]. Telah berkata Ibnu Abii Haatim dari
jalan Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud kelompok ini adalah golongan
Kafir(juga pendapat Ikrimah dari jalan Abu Hurairah ra). Menurut Maalik dari
jalan Zaid ibnu Aslam, bahwa kelompok ini adalah golongan Munafiq. Menurut Ibnu
Abii najiih dari jalan Mujaahid, kelompok ini adalah Ashhabul Masyamah(golongan
kiri) [56:9]. Para mufassir berbeda pendapat mengenai golongan ini. Sebagian
berpendapat bahwa kelompok ini bukan dari Ummat Muhammad saw. Sebagian lagi
sebaliknya. Pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang mengatakan bahwa
kelompok ini termasuk bagian dari ummat Muhammad saw.

Kelompok kedua adalah 'almuqtasidu'. Mereka adalah yang menunaikan
kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, tetapi mereka juga
meninggalkan perkara yang sunnah[disukai] dan tetap melaksanakan sebagian
perkara yang tidak disukai[makruh].

Kelompok ketiga adalah ' Assaabiqu bilkhairaat', mereka adalah
yang senantiasa melakukan perbuatan yang wajib dan sunnah serta meninggalkan
perkara yang haram dan makruh.

Telah berkata 'Ali Ibnu Abii Thalhah dari jalan Ibnu 'Abbas ra berkaitan dengan
ayat diatas bahwa ' Allaah swt telah memberikan
Alkitab yang diturunkan kepada hambanya, maka sebagian menjadi 'Adzdzaalimu'
dan Allaah mengampuninya, sebagian menjadi 'Al-muqtasidu' dan Allaah menghisab
mereka di yaumil qiyamah dengan hisaaban yasiira (hisab yang mudah), sebagian
menjadi 'Assaabiqu' dan Allaah "mempersilakan" mereka memasuki syurga tanpa
hisab.'

Telah berkata Abu Alqaasim Aththabranii dari jalan Ibnu 'Abbas, bahwa pada
suatu hari Rasulullaah saw telah bersabda:"Syafa'atku bagi 'Ahlu AlKabaair"
dari ummatku". Ibnu 'Abbas ra berkata, Assaabiqu bilKhairaat memasuki syurga
tanpa hisab, dan AlMuqtasidu memasuki syurga karena Rahmat Allaah swt, dan
Adzdzaalimu li nafsihi dan 'Ashhaabul A'raaf(*) memasuki syurga dengan
syafaa'at Muhammad saw." Ibnu 'Abbas, AlHasan dan Qatadah menambahkan bahwa
pembagian kelompok yang disebutkan dalam surat ini [Faathir 32] serupa dengan
firman Allaah swt dalam AlWaaqi'ah 8-10.

Dalam sebuah terjemah Alqur'an, 'dzaalimun linafsihi' adalah mereka yang
menganiaya diri mereka sendiri , 'muqtasidun' adalah mereka yang pertengahan
dan 'saabiqun bilkhairaat' adalah mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan.
Ustadz A. Hassan dalam tafsir Alfurqannya meberikan catatan bahwa 'muqtasidun'
itu adalah mereka yang tidak bertambah dalam melakukan kebaikan dan tidak pula
berkurang dalam melakukan kejelekan, senantiasa tetap.

Dalam kehidupan sehari-hari, barangkali kita sering menemukan sahabat kita
mengatakan bahwa," ah..saya mah jadi muslim yang biasa-biasa saja". Setidaknya
pernyataan ini menggelitik hati kita untuk balik bertanya,"Yang bagaimana sih
yang namanya muslim biasa-biasa saja itu?". Istilah 'biasa-biasa saja"
barangkali sah-sah saja digunakan seseorang tatkala dia bermaksud 'tawadhu'.
Tetapi, manakala istilah tersebut digunakan dengan tujuan lain misalnya karena
merasa "tidak nyaman' manakala melihat sahabat kita tamat membaca qur'an dalam
waktu sebulan atau rajin melakukan shalat tahajjud atau memakai jilbab, maka
istilah tersebut tentunya kurang pada tempatnya. Kalau boleh saya meminjam
istilah dan "disarankan" untuk menjodohkan istilah/kelompok dalam surat di
atas dengan istilah ditemukan sehari-hari tadi, maka tampaknya saya akan
meletakkan istilah "luar biasa" kepada Assaabiqu" dan "biasa-biasa saja"
kepada AlMuqtasid [untuk yang sisanya saya belum tahu istilah yang cocok].
Tetapi kemudian ada masalah yang menganjal dalam hati saya, sekiranya kita
mengetahui bahwa yang "luar biasa" itu lebih baik kemudian kita boleh menawar,
apakah kita masih memiliki keberanian untuk men-declare bahwa kita ingin
memilih yang 'biasa-biasa saja'? apakah memang betul yang kita pilih itu yang
"biasa-biasa saja", sementara kita masih banyak meninggalkan yang wajib dan
sunnah[menurut kriteria almuqtasidu]?
Wallaahu a'lam..

Yang benar datangnya dari Allaah, yang salah karena kekurangan
penulis....


(*) Menurut surat Al A'raaf 46-48, bahwa diantara syurga dan neraka terdapat
sebuah tempat yang dinamakan Al A'raaf. Penghuni tempat ini dinamakan Ashhabul
A'raaf. Menurut catatan ustadz A.Hassan dalam tafsirnya bahwa mereka ini adalah
yang seimbang hisabnya antara kebaikan dan kejelekan. Mereka akan tergoda untuk
menjadi penghuni syurga sekaligus mereka akan takut bila menjadi penghuni
neraka [mungkin ini yang disebut dengan siksaan bathiniyah dari Allaah swt].

Sumber:Tafsir Ibnu Katsir dan terjemah AlFurqan.
----
Wassalaamu'alaikum,

I Do Y
senantiasa bertadabbur dan bertafakur
Eindhoven 2002

Oleh-oleh

Assalaamu'alaikumm warahmatullaah,

Oleh-oleh pertama adalah surat AlMujaadalah[58] ayat 11. Ayat ini pada dasarnya berbicara tentang adab/tatacara dalam bermajlis; seseorang harus memberikan tempat kepada orang lain yang baru datang dan apabila Nabi saw menyuruhnya untuk bangun, maka lakukanlah. Tetapi yang akan menjadi fokus pembicaraan kita adalah firmanNYA dalam bagian, "Allaah meninggikan orang-orang yang beriman dan yang berilmu beberapa derajat".

AlQadhi Iyadh berkata," Tidak akan tegak[berdiri] sebuah ucapan kecuali dengan amal, dan tidak [tegak] ucapan dan amalan kecuali dengan niat,dan tidak [tegak] ucapan dan amalan dan niat kecuali bersesuaian dengan sunnah Nabi saw". Dari perkataan tersebut dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bersesuaian dengan sunnah Nabi saw/ittifaq merupakan kunci dari diterimanya segala amalan kita. Untuk mengetahui apakah amalan kita itu ittifaq dengan perbuatan Nabi maka diperlukanlah ilmu.

Ilmu dalam ajaran Islam memiliki kedudukan yang utama. Allaah swt mengecam hambanya yang berbuat tanpa mendasarinya dengan ilmu [AlIsraa:36]. Imam Bukhari, dalam shahih-nya mencantumkan kitab ilmu sebagai kitab ketiganya setelah kitab bagaimana wahyu diturunkan dan kitab iman. Bahkan beliau memberikan sebuah subjudul dalam kitab ilmunya dengan nama" bab ilmu sebelum ucapan dan amalan".

Dalam surat diatas, Allaah swt menjanjikan untuk mengangkat/meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Dalam kitab Fathul Bariy disebutkan ayat diatas bermakna bahwa Allaah swt akan meninggikan [kedudukan] orang-orang mukmin yang berilmu diatas orang-orang mukmin yang tidak berilmu. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Umar bin Khattab pernah menegur seorang gubernur karena menganggkat budaknya sebagai wakil ketika dia meninggalkan kotanya. Gubernur tersebut memberikan alasan bahwa maula-nya tersebut adalah orang yang mengajarkan alQur'an dan mengetahui ilmu Faraid. Kemudian Umar ra membenarkannya.

Di dalam tafsir Ibnu Katsir ketika menjelaskan surat Thahaa: 114 disebutkan bahwa Allaah swt tidak pernah memerintahkan nabinya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali dalam perkara ilmu. Yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu yang dapat memberikan manfaat bagi yang mencarinya, yaitu ilmu yang dapat mengantarkan dirinya kepada pengenalan dan peningkatan ibadah kepada AlKhaliq dan makhluq lainnya. Dalam kitab SubulusSalaam tercatat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Anas ra bahwa rasulullaah saw bersabda," Ya Allaah, berikanlah manfaat kepadaku dari apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah kepadaku apa-apa yang bermanfaat bagiku., dan berikanlah rizki kepadaku [berupa] ilmu yang bermanfaat bagiku". Seorang ulama menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk dari 'hasanah fiddunya'(kebahagiaan di dunia).

Selain menganjurkan untuk mencari ilmu yang bermanfaat, Islam melarang pula seseorang untuk mencari ilmu yang dicela oleh Allaah swt. Ilmu tercela tersebut antara lain:
1. Ilmu yang memudaratkan, misalnya sihir. Karena pada asalnya ilmu ini berupaya untuk mengganggu seseorang dan memutuskan silaturrahmi.
2. Ilmu ramal. Dalam surat Luqman:34 diterangkan bahwa,"Tidak ada seorangpun [makhluq] yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya esok hari, dan tidak ada seorangpun [makhluq] yang dapat mengetahui dimana dia akan meninggal".
3. Ilmu yang tidak diamalkan dan disembunyikan pemiliknya.
4. Ilmu keduniaan yang dapat melalaikan urusan akhirat.

Oleh-oleh kedua adalah surat Anbiya:90. Dalam ayat 89-nya diceritakan bagaimana seorang Zakaria as memohon kepada Rabbnya agar segera dikaruniai seorang generasi penerus. Ayat 90-nya menceritakan bahwa Allaah swt memperkenankan do'a nabi Zakaria dikarenakan beberapa sebab. Insya Allaah, yang menjadi fokus kita dari ayat ini adalah sebab-sebab do'a nabi tersebut dikabulkan.

Sebab pertama adalah karena mereka (Nabi zakaria+istrinya) bersegera dalam melakukan kebaikan, bersegera dalam melakukan keta'atan kepada Allaah swt. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ketika menjelaskan surat Faathir:32, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok manusia yang tergolong kepada bersegera kepada kebaikan(saabiqunbilkhairat) adalah mereka yang senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban dan perkara sunnah, dan senantiasa meninggalkan hal yang haram dan makruh.

Sebab yang kedua adalah karena mereka berdo'a dengan penuh harap dan takut. Penuh harap bahwa do'a mereka akan dikabulkan, dan takut bila mereka berbuat maksiat sehingga Allaah murka kepadanya. Dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah r.a: Rasulullah s.a.w bersabda:" Doa seseorang itu akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru menyebabkan dia berkata: Aku berdoa tetapi tidak dimakbulkan".

Sebab yang ketiga adalah karena mereka orang-orang yang khusyu'. Para ulama memberikan definisi khusyu' secara berlainan. Ali bin Abi Thalhah dan Ibnu Abbas ra menyatakan bahwa khusyu' adalah membenarkan terhadap apa-apa yang diturunkan Allaah swt, Mujahid: mukmin yang sesungguhnya, merendahkan diri, HasanAlBashri: menghinakan, Abu 'Aliyah: takut, Abu Sinan:perasaan takut yang senantiasa melekat dalam hatinya. Secara bahsa khusyu' dapat berarti melemahkan suara (Thaaha:108), tandus (Fushilat 39), tunduk hina(AsySyuraa 45), tunduk ingat kepada Allaah swt (Alhadid:16). Dengan demikian khusyu' dapat bermakna lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah dapat bermakna misalnya tunduk lemas, tandus. Sedangkan secara bathiniyah khusyu' dalam beramal adalah perbuatan hati yang senantiasa melekat padanya rasa takut, tawadhu, tunduk kepada Allaah swt sehingga senantiasa akan sungguh-sungguh dalam menjalankan amalan tersebut. Sedangkan syarat khusyu' adalah meyakini akan pertemuannya dengan Allaah swt dan akan dikembalikan kepadaNYA dengan mempertanggunjawabkan semua amalan di dunia(AlBaqarah 45-46).

Selain doa yang maqbul, ada pula do'a yang ditangguhkan untuk diberikan. dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa tidaklah seorang muslim yang menghadapkan mukanya kepada Allaah swt untuk berrdo'a kecuali Allaah akan memberikannya, kadang dipercepat kadang diperlambat. Soal ditangguhkannya waktu tersebut bisa jadi karena do'a tersebut tidak baik pendo'a bila dikabulkan di dunia, atau bisa jadi do'a tersebut ditangguhkan sebagai simpanan di akhirat nanti.

Oleh-oleh yang ketiga, sebagai oleh-oleh terakhir, adalah Alimraan:14. Harus disadari bahwa manusia memiliki ketidakpuasan bila sudah berbicara tentang harta. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa bila anak Adam diberikan satu bukit emas maka dia akan meminta yang keduanya. Padahal tidak akan penuh perut anak Adam kecuali dengan tanah.
Rasulullaah saw telah mengingatkan bahwa akan muncul dua penyakit, yaitu cinta dunia dan takut mati. Jiwa yang tidak puas ini, bisa saja mengantarkan dirinya kepada kekufuran akan nikmat yang telah diperolehnya. Padahal Rasulullaah saw telah mengingatkan untuk mensyukuri nikmat yang telah diperoleh melalui sabdanya," Lihatlah
orang yang lebih rendah dari kalian, dan janganlah melihat orang
yang lebih tinggi dari kalian, karena yang demikian lebih baik
supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allah atas kalian".( dikeluarkan oleh Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari jalan Abu Hurairah ra ,Shahih AlJaami' no. 1507, Asysyaikh AlBaani).

Sebagai kesimpulan, oleh-oleh saya ini saya ringkaskan dalam sebuah do'a," Ya Allaah, Aku berlindung kepadaMU dari hati yang tidak khusyu', dan dari do'a yang tidak didengar, dan dari jiwa yang tak kenyang (puas), dan dari ilmu yang tidak bermanfa'at. Aku berlindung kepadaMU dari hal yang empat tadi".(Shahih alJami' no. 1297, Asysyaikh AlBani).

Semoga bermanfaat.
Wasalaamu'alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2002

Sekilas tentang Shaum ramadhan

Assalaamu'alaikum,

“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian shaum, sebagaimana telah diwajibkan[nya] kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”[QS.2:183]

Setiap Ramadhan tiba, maka setiap itu pula ingatan kita kembali tertuju kepada ayat di atas. Hampir bisa dipastikan, setiap ustadz maupun ustadzah akan menghiasi materinya dengan kutipan ayat di atas.

Dalam ayat di atas, Allaah swt telah memerintahkan kepada mereka yang beriman untuk melaksanakan shaum pada hari-hari terbilang yang ditentukan [ayyaaman ma’dudaat;’adadan ma’luman]. Shaum yang dimaksud ayat ini adalah shaum ramadhan. Kesimpulan ini berdasarkan kelanjutan ayat tersebut, yaitu,” Bulan ramadhan yang padanya diturunkan alQuran…”[QS.2:185]. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada permulaan Islam orang–orang biasa melaksanakan shaum tiga hari dalam setiap bulan. Kemudian Allaah menghapuskan kebiasan tersebut dengan perintah shaum ramadhan. Riwayat lainnya menyebutkan bahwa kebiasaan shaum telah berlangsung lama semenjak zaman Nabi Nuh as hingga turunya ayat di atas. Riwayat Ibnu Abbas ra menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘min qablikum’[orang–orang sebelum kalian] dalam ayat di atas adalah Ahl-alKitaab [umat nabi Musa as dan nabi Isa as].

Shaum berasal dari kata shaama-yashuumu-shauman wa shiyaaman. Menurut bahasa ia memiliki arti alImsak, menahan diri dari sesuatu, atau habsu annafsi ‘an syaiin [memenjarakan diri dari sesuatu]. Di dalam alQur’an, shaum dengan makna bahasa, yaitu menahan diri dari berkata-kata, bisa kita temukan dalam surat Maryam ayat 26,” Lantas kalau engkau [Maryam as] lihat seseorang manusia, maka katakanlah: Aku bernadzar diam karena [Tuhan] Pengasih [Innii nadzartu lirrahmaani shauman]. Oleh sebab itu, tidak akan aku berkata-kata kepada siapapun manusia pada hari ini”. Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan diri dari hal-hal tertentu, yaitu makan, minum, bersenggama, ucapan dan amalan sia-sia, pada saat tertentu [siang hari] dengan tata cara tertentu dan niat ikhlash karena Allaah.

Shaum adalah perbuatan yang dilakukan dengan niat. Dari Hafshah ummilmu’miniin, bahwasannya Nabis saw telah bersabda,” Barangsiapa yang tidak menetapkan [niat] shaum sebelum fajar, maka tidak ada shaum baginya”. Hadits ini dan hadits yang semaknanya dikeluarkan oleh Alkhamsah [Abu Dawud, Nassaiy, Ibnu Maajah, Attirmidziy dan Ahmad], Ibnu Khuzaimah dan Addaaraquthniy (lihat Assubul Assalaam, Imam Asshshan’aniy). Syaikh Albaniy memasukan hadits ini ke dalam Shahih Aljami’-nya [no. 6535]. Dalam memahami hadits tersebut, para ulama berbeda penafsiran. Sebagian berpendapat bahwa niat shaum mesti dilakukan setiap hari dengan batasan waktu antara saat berbuka (waktu maghrib) sampai saat mulai shaum (waktu shubuh). Sebagian lagi berpendapat bahwa cukup berniat di awal ramadhan saja, setelah ‘melihat’ hilal pertanda masuknya bulan Ramadhan dan sebelum terbit fajar. Mereka beralasan karena Shaum Ramadhan merupakan ibadah kesatuan di bulan tersebut. Terlepas dari perbedaan ini, yang utama adalah shaum mesti dilakukan dengan niat. Menurut Imam Nawawi dalam AlAdzkar bahwa niat ini bisa dilakukan dengan hati, dengan lisan, atau dengan keduanya. Mengenai tekstual ucapan niatnya, penulis belum menemukan hadits ataupun riwayatnya. Dengan demikian, teksnya bisa diucapkan menurut bahasa masing-masing. Wallaahu a’lam.

Pada dasarnya hadits Hafshah r.anha di atas berlaku bagi semua jenis shaum. Tetapi, keumumannya tersebut dipalingkan oleh hadist Aisyah r.anha,”Suatu hari Nabi saw mengunjungiku. Beliau bersabda: Adakah sesuatu [makanan] padamu?. Kami menjawab: Tidak. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya aku akan shaum”[Subul Assalaam, hadits no.676]. Dengan demikian, penulis berpendapat, berdasarkan kedua hadits ini, bahwa niat merupakan kesempurnaan dari ibadah shaum. Wallaahu a’lam.

Dianjurkan pula untuk mengawali shaum dengan mengerjakan sahur [makan atau minum sesuatu], dan mengakhirkannya. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Abi Sa’id,”Janganlah kalian meninggalkannya [sahur],walaupun engkau hanya mendapatkan segelas air, karena sesungguhnya Allaah dan para malaikat bershalawat [mendo’akan] kepada orang-orang yang sahur”. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik r.anhu,” Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda: bersahurlah kalian, karena sesungguhnya padanya terdapat barakah”. Barakah disini, diantaranya, adalah karena sahur tersebut mengikuti tatacara Nabi saw [sunnah] dan pembeda dengan kebiasaan puasa Ahl-Alkitaab. Imam Muslim meriwayatkan dengan hadist marfu’,” Perkara yang membedakan diantara shaum kami dan shaum Ahlulkitaab, mengerjakan sahur”.

Shaum ini diakhiri dengan ifthaar [berbuka]. Dianjurkan untuk menyegerakan berbuka. Hadis riwayat Sahal bin Saad r.anhu dikeluarkan oleh Imam Muslim, bahwa Rasulullah saw. Bersabda,” Orang-orang itu senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. Imam Ahmad menambahkan,” dan selama mereka mengakhirkan sahur”. Abu Dawud menambahkan,”Karena sesungguhnya yahudi dan nashara mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang”. Imam Attirmidzi meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah r.anhu, bahwa Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya Allaah ‘azza wa jalla berkata,” Aku mencintai hambaku yang menyegerakan berbuka”.

InsyaAllaah, Shaum Ramadhan ini kita akan tingkatkan kualitasnya. Semoga Shaum kita seantiasa diterimaNYA.

Sumber: tafsir Ibnu Katsir, Subul Assalaam.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y

Eindhoven 2003

Daunnya berguguran

Assalaamu'alaikum,

Dunia ini memang fana. Segala sesuatu didalamnya tak pernah ada yang
abadi, seperti halnya di musim gugur ini. Suhu yang pada awalnya
tinggi, kini turun drastis menjadi setengahnya. Angin sepoi di musim
panas, perlahan ‘berlari’ menambah kecepatannya. Daun pepohonan yang
asalnya hijau kemilau, lambat laun mulai berguguran. Tak terkecuali
sang ‘evergreen’, meskipun dirinya tangguh menghadapi sang angin, namun
suatu saat nanti bencana alam ataupun tangan manusia akan
menaklukannya.

Tumbuh, berkembang, berbuah dan akhirnya layu, merupakan sunnatullaah
bagi sebuah tanaman yang senantiasa bertasbih kepada Sang Pemiliknya.
Berdasarkan sunnatullaah ini, alQur’an memberikan sebuah perumpamaan
kepada kaum yang memiliki jiwa sosial kepada sesamanya, perumpamaan
yang diperuntukkan bagi para dermawan. AlQuran telah menyampaikan bahwa
harta-harta yang dikeluarkan oleh kaum dermawan untuk ketaatan kepada
Allaah swt seumpama sebutir benih yang menumbuhkan benih-benih lainnya.
Allah swt telah berfirman, “Perumpamaan (infaq yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allaah adalah serupa
dengan sebutir benih (biji) yang menumbuhkan tujuh bulir (tangkai),
pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allaah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allaah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui” [AlBaqarah 261].

Secara fitrah hati manusia dihiasi dengan kecintaan terhadap apa-apa
yang diingininya (Asysyahwat), yaitu lawan jenis, keturunan atau
golongan, dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, uang, kendaraan
dan tanah yang luas. Sekiranya manusia telah diberikan satu bukit emas,
niscaya dirinya akan meminta bagian keduanya. Padahal, Allaah telah
menjelaskan bahwa semuanya itu adalah hiasan dunia yang bersifat fana.

Islam adalah adDin yang mengatur fitrah manusia, dan mengajarkan
keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Hal penting yang
diatur oleh ajaran Islam dalam perguliran harta adalah agar harta
tersebut tidak hanya beredar di kalangan kaum hartawan saja [AlHasyr
7]. Oleh karenanya, ajaran Islam mewajibkan pemeluknya yang berlebih
untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan.
Salah satu bentuk pengeluarannya adalah infaq.

Kata Infaq (nafkah) berasal dari anfaqa-yunfiqa-infaaqan [wallaahu
a’lam], yang berarti mengeluarkan sesuatu untuk kepentingan sesuatu.
Kaum kafirin biasanya berinfaq dengan tujuan untuk menghalangi kaum
muslimin dari berbuat kebaikan, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu, menginfaqkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan
Allah…”[AlAnfal 36]. Sedangkan kata infaq secara istilah adalah
mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan Islam, tanpa dibatasi
jumlah minimal mengeluarkannya.

Berdasarkan alBaqarah ayat 261, Allaah swt telah menjanjikan kepada
kaum dermawan untuk menumbuhkembangkan kebaikannya, sebagaimana
tumbuhnya sebuah tanaman yang memberikan manfaat kepada pemiliknya;
sebutir biji akan menumbuhkan 7 tangkai, setiap tangkainya akan
membuahkan 100 biji lainnya. Namun, bila tidak dipelihara dan tidak
dijaga, ‘tanaman’ tersebut dalam perjalanannya dapat tehinggapi hama
penyakit. Biji yang semula menumbuhkan tangkai berdaun subur,
tangkainya perlahan mengering, layu, kemudian daunnya berguguran.

Di dalam alQur’an, selain riya, setidaknya ada dua penyakit yang dapat
menyebabkan ‘daun subur’ tersebut cepat layu dan berguguran, tidak
membuahkan biji-biji lainnya. Penyakit tersebut adalah alManna dan
alAdzaa.

AlManna berasal dari kata manna-yamunnu-mannan wa minnatan [wallaahu
a’lam], yang memiliki arti menyebut-nyebut kebaikan. Seorang dermawan
yang memberikan sebagian harta kepada yang membutuhkan, kemudian dia
membangkit-bangkitkan kebaikannya baik secara langsung kepada si
penerima maupun tidak, baik melalui ucapan ataupun perbuatan [misalnya
tulisan], maka hapuslah segala kebaikan [pahala infaq] yang pernah
diperbuatnya. Sedangkan menyebutkan kebaikan seseorang dengan tujuan
untuk pendorong bagi lainnya dalam berinfaq adalah diperbolehkan,
selama penyebutan itu mampu menjaga hati si pemberi dari sifat riya
[ingin dilihat] dan sum’ah [ingin didengar]. Ibnu Umar r.anhu telah
meriwayatkan bahwa Nabi saw. Telah bersabda, ‘Tidak ada sifat iri yang
dibenarkan kecuali terhadap dua orang; terhadap orang yang diberikan Al
Qur'an dan dia membacanya di waktu malam dan di waktu siang dan
terhadap orang yang dikaruniai harta benda dan dia menafkahkannya
dengan baik di waktu malam dan di waktu siang’[H. Muslim]. Namun yang
terbaik adalah menyebutkannya tanpa menunjuk langsung si pelakunya,
misalnya dengan sebutan hamba Allaah. Dari Asma binti Abu Bakar r.anha.
ia berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda kepadaku, 'Berinfaklah dan
tidak usah menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya
untukmu' [H. Muslim].

AlAdzaa berasal dari kata adziya-ya’dzaa-adzaa wa adzaatan [wallaahu
a’lam], yang memiliki arti kesakitan. Seorang dermawan memberikan
sebagian hartanya kepada yang membutuhkan, kemudian dia mengiringi
pemberiannya dengan kata-kata yang menyakitkan si penerimanya merupakan
bentuk dari alAdzaa. Bentuk alAdzaa lainnya adalah seseorang yang
mendermakan hartanya di dalam sebuah urusan, kemudian dia ingin
melakukan kekuasaanya di urusan tadi lantaran dermanya, sehingga tak
jarang dia harus berbuat yang menyakitkan orang di sekitarnya. AlQur’an
telah menjelaskan bahwa ucapan penolakan yang baik dan penutupan
rahasia orang yang meminta derma adalah lebih baik daripada shadaqah
yang diiringi dengan alAdzaa [alBaqarah 263]. Dalam ayat ini alQur’an
menyebutkan shadaqah sebagai penganti infaq, karena shadaqah memiliki
makna yang luas, tidak hanya pengeluaran harta, melainkan termasuk
semua jenis kebaikan; Bertindak adil di antara dua orang adalah
shadaqah, membantu orang lain naik keatas hewan tunggangannya atau
menaikkan barang-barangnya ke atas punggung hewan tunggangannya adalah
shadaqah, perkataan yang baik adalah shadaqah, setiap langkah menuju
salat adalah shadaqah, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan dari
jalan adalah shadaqah, dll.

Ramadhan adalah bulan latihan. Selama bulan tersebut, pemikiran dan
fisik kita dididik dengan tujuan meraih gelar taqwa. Ramadhan merupakan
stimulus agar kita bisa mewarnai amalan di bulan lainnya dengan amalan
di bulan ramadhan. Salah satu sasaran shaum ramadhan yang dapat
dijadikan tolok ukur keberhasilan alumni ramadhan adalah menumbuhkan
sifat dermawan. Jangan biarkan kebaikan yang telah kita tanam seperti
batu licin yang diatasnya ada pasir, kemudian ditimpa hujan lebat yang
menjadikan batu tersebut licin kembali, atau seperti tanaman yang
berpenyakit, tangkainya mengering, layu dan daunnya berguguran.
Usahakanlah kebaikan yang kita telah kerjakan seperti tanaman yang
tumbuh di kebun subur, kemudian ditimpa hujan lebat lalu mengeluarkan
hasil yang berlipat. Sekiranya hujan lebat tak menimpanya, maka hujan
abu pun cukuplah.

Sekiranya kita dikaruniai kelebihan harta oleh Sang Maha Kaya,
maka sadarilah bahwa ada bagian dari harta kita yang mesti
dimiliki oleh orang lain yang membutuhkan. Sadarilah pula bahwa setiap
insan pasti ada kekurangannya. Mungkin saja tanpa disadari kita pernah
menggugurkan ‘daun-daun’ dari benih yang kita tanam. “Sesungguhnya
kebaikan itu menghapuskan keburukan”. Marilah kita Beristigfarlah dan
bersimpuhlah di hadapanNya. Wallaahu a’lam.

-Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.anhu, bahwasannya Nabi saw adalah orang
yang dermawan dengan kebaikan, dan Beliau lebih dermawan lagi manakala
memasuki bulan ramadhan [R. Bukhari].-


Dari obrolan ifthaar di Helmond,

Wassalaamu’alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2003

Gigi depannya sudah dua

Assalaamu'alaikum,

“Gigi depannya sudah dua. Sekarang ia sering mainin lidahnya lho.
Mungkin gatal ya, ada sesuatu yang baru:-)”. Itulah isi sms yang
diterima penulis pagi ini.

Menjelang ramadhan tahun lalu, putri pertama kami lahir. Mingu-minggu
pertama sejak kelahirannya, kami disibukkan dengan berbagai
perawatannya; mulai dari ganti popok, baju, memandikan sampai dengan
me-ninabobo-kannya. Ketika ramadhan tiba, siang harinya kami shaum,
malam harinya kami terbangun karena si kecil meminta susu. Biasanya ia
akan tertidur setelah di-ninabobo-kan. Lucunya, apabila di luar rumah
terdengar suara kendaraan di saat ia akan tidur, maka biasanya ia segar
kembali. Tak jarang kami pun harus terus begadang sampai sahur tiba
karena si kecil belum mau tidur kembali.

Ramadhan kali ini, pengalaman tersebut tak pernah penulis nikmati lagi.
Selain karena tempat kami berjauhan, juga ia sekarang telah berusia
setahun lebih dan ritme tidurnya telah mulai teratur. Ia telah terbiasa
tidur malam dan terbangun pagi harinya.

Ada hal yang menjadi perenungan penulis melihat sensitifnya pendengaran
si kecil ini terhadap bunyi-bunyi yang menyebabkan dirinya terbangunn
kembali. Sepertinya, Sang Maha Pencipta menganugrahkan pendengaran
kepada makhluqnya pada urutan pertama. Kemudian diikuti dengan
penglihatan dan terakhir pikiran [hati], sebagaimana FirmaNYA:”Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur [Annahl:78]. Wallaahu a’lam.

Berkaitan dengan pendengaran, penglihatan dan hati ini, AlQuran banyak
sekali menyebutkannya dalam beberapa tempat, Misalnya pada Yunus 31,
AlMu’minuun 78, AsSajdah 9, AlMulk 23, dan AlIsraa’ 36. Diantara
ketiganya, pendengaran selalu disebutkan dalam urutan pertama. Tidaklah
mungkin AlQur’an menyebutkan urutan tersebut berkali-kali kalau tidak
ada maksudnya.

Bila kita perhatikan, setiap keburukan pada awalnya akan bersumber dari
pendengaran. Berita keburukan si fulan di barat akan sampai kepada si
fulan di timur pada awalnya bersumber dari pendengaran [gossip].
Kondisinya ini akan semakin parah, jika si fulan menyampaikannya
kembali secara berantai kepada para fulan di utara dan selatan tanpa
mengetahui kebenaran beritanya. Oleh karenanya, Islam senantiasa
mengajarkan kepada hambanya agar selalu ‘shaum’ [menahan, meneliti
serta memeriksa/tabayyun] pendengaran tatkala menerima sebuah berita,’
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu’ [AlHujuraat 6]. Ketika
menerima berita, maka setidaknya seseorang dapat menelitinya secara
dini dengan melihat si pembawa berita tersebut. Apakah ia seorang yang
terpercaya ataukah seorang yang biasa berbohong.

Bila setiap diri mampu menjaga pendengarannya, maka InsyaAllaah
beberapa musibah yang menimpa umat ini dapat dihindarkan.

“Gigi depannya sudah dua”. InsyaAllaah berita ini benar, karena yang
menyampaikan adalah orang kepercayaan penulis. Mudah-mudahan, ramadhan
kali ini kita mampu memelihara pendengaran dan memanfaatkannya untuk
hal-hal yang berguna.


"Pada hari ini[hari Pembalasan] Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah
kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap
apa yang dahulu mereka usahakan" [Yaasin 65].

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2003