Rabu, 08 Oktober 2008

Yu waf mi

Assalaamu'alaikum,

Waktu sebulan tanpa agenda yang jelas sungguhlah menjemukan, apalagi
bila jauh dari anak dan istri. Kegiatan harian hanyalah diisi dengan
makan, mandi, internetten dan tidur. Maar, Alhamdulillaah, setidaknya
penulis masih bisa rajin membuat coretan-coretan di milis ini. Bila
telah kembali berdinas nanti, nggak janji ah..., habis buanyaak sekali
rutinitas yang mesti dilakukan.

Hampir sebulan ini pula, penulis tidak bertatap muka dengan 'bintang '
kecil kami. Sun hangatnya, celotehannya, cubitannya dan rengekkannya,
hilanglah untuk sementara waktu. Yang ada, hanya secarik kertas yang
berisikan potret wajahnya tatkala ia berusia 3 bulan. Lumayan ah.. buat
penghangat dari dinginnya cuaca K'Lautern.

"A laf yu, yu waf mi", katanya di suatu pagi di saat kami berkumpul
dulu. Ucapannnya itu disertai dengan lenggokan kepala dan lambaian
tangannya. Wah, terus terang saja, penulis bingung sekali dengan
maksudnya." Ap..ap", katanya lagi (maksudnya menyuruh penulis berdiri,
yang ini kebetulan penulis mengerti). Kemudian kami pun melompat-lompat
sambil ia tak hentinya mencelotehkan kata-kata tersebut. Ketika ia
sudah cape, kami pun berhenti.

Rasa penasaran tadi kemudian penulis tanyakan kepada sang istri. Oh,
rupanya yang ia maksudkan dalam celotehannya tadi adalah lirik lagu
yang sering ia tonton dalam Barney cartoon show: I Love You, You love
me. Di saat lain, ia berceloteh, "Alo, Alo, Tuhan lain alo" (maksudnya
Allaah, Allaah, [tiada] Tuhan selain Allaah), menirukan lagu yang
ditontonnya di TV.

Anak kecil seusia dia (2+ thn) sepertinya sudah mulai belajar menirukan
apa yang dia lihat. Ketika ada kegiatan yang menyita perhatiannya,
biasanya ia merekamnya ke dalam otak yang kemudian ia mengungkapkannya
lagi melalui caranya sendiri. Secara umum, anak seusianya masih polos,
mudah terkena pengaruh, menyerap pengalaman apa saja tanpa timbang
pikir dan rasa. Apa yang didengar dan dilihatnya, ia tirukan saja tanpa
ada yang dirahasiakan.

Di dalam alquran, Allaah swt telah berfirman, "Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur"[Annahl 78]. Demikian pula sebuah hadits diriwayatkan Imam
Muslim, yang sudah populer di kalangan kita, menyatakan 'Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikan anak
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi'. Berangkat dari kedua sumber ini,
maka dapatlah kita fahami bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak baik
menyangkut fisik, mental dan keagamaannya, dari fitrahnya menuju
perkembangan selanjutnya yang lebih baik dan matang tidaklah
semata-mata merupakan faktor instink/bawaan saja, melainkan sangat
bergantung pada proses pendidikan/bimbingan yang dilaluinya. Oleh
karenanya, anak-anak sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya
menaruh perhatian terhadap masalah pendidikannya. Jadi kalau ada orang
tua yang menyesali perbuatan anaknya karena berpindah agama, maka ia
harus introspeksi diri, penyesalan itu harus dikembalikan kepada
dirinya sendiri. Mengapa dulu ia tidak pernah memperhatikan pendidikan
bagi anak-anaknya.

Adalah suatu kewajiban orang tua untuk mengasuh, mengasihi, dan
mengasah anak-anaknya, tidak membiarkan mereka bebas bagaikan burung di
luar sangkar, sekaligus juga tidak mengekang mereka seperti macan di
dalam kandang besi yang sempit. Tetapi anak-anak dididik di rumah
dengan contoh-contoh teladan yang selaras dengan nilai-nilai keagamaan,
juga diikutsertakan dalam kegiatan keagamaan di tengah-tengah
masyarakat agar mental agama mereka berkembang dengan baik.

Untuk mendidik menjadi waladun shalih (anak yang shalih), ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan alam, agama, keluarga,
sekolah dan masyarakat. Nabi Adam as dan istrinya mendapat pendidikan
melalui alam dan agama (dari Allaah swt langsung). Namun anak-anaknya
kemudian mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, dan lingkungan alam
sekitarnya. Kabil menguburkan adiknya yang ia bunuh (Habil) setelah ia
menyaksikan seekor burung yang tngah mengorek-ngorek tanah untuk
mengubur burung lain yang sudah mati.

Manusia di jaman modern ini akan mendapat pendidikan dari ke lima
faktor di atas. Namun perlu disadari, untuk melaksanakan pendidikan
yang menunjang kepada pendidikan waladun shalih ini tantangannya sangat
besar. Setiap keluarga muslim hendaknya berusaha membentengi
anak-anaknya dengan pendidikan Islam sejak dini, menyangkut pendidkan
aqidah, agar anak mengenal Allaah dan tidak mempersekutukannya;
pendidikan amal shaleh dan mu'amalah, agar anak dapat berbuat baik
kepada sesamanya; pendidikan syariah dan ibadah, agar anak mempelajari
dan mau melaksanakan ibadah dalam rangka penghambaannya kepada Allaah
swt; pendidikan da'wah, agar anak mampu berbuat amar ma'ruf dan nahi
munkar; pendidikan akhlaq, agar anak berprilaku baik; dan pendidikan
shabar, agar anak tenang, kuat dan tabah dalam menghadapi kesempitan
hidup.

Cara pendidikan orang tua terhadap anaknya pada tahun-tahun awal
pertumbuhannya sangat memerankan bagian penting dalam mempengaruhi
pembinaan jiwanya. Apabila cara yang digunakan akan menimbulkan rasa
takut dan tidak aman pada anak dalam berbagai situasi dan
berulang-ulang, maka akibatnya mereka akan mengalami kegoncangan jiwa.
Menurut Musthafa Fahmi seorang ahli kesehatan dari Mesir, bahwa
diantara sebab-sebab terpenting dari kegoncangan jiwa anak antara
lain:(1) anak tidak mendapat pemeliharaan ibu; (2) anak merasa tidak
disayangi atau bahkan dibenci;(3) orang tua terlalu toleran pada
kesalahan anak;(4) perhatian yang berlebihan dalam menjaga anak;(5)
kekerasan orang tua terhadap anak dan kecenderungan bersikap otoriter
terhadap anak;(6) orang tua terlalu ambisius.

Bagaimanakah cara orang tua dalam menumbuhkan mental agama anak?
Menurut suatu sumber, dalam hal ini terdapat beberapa pendekatan.

Pendekatan pertama dalah pendekatan personal. Hal ini dilakukan dengan
cara mengenali perkembangan sifat, kebiasaan, perasaan dan alam pikiran
anak, kemudian membina mentalnya melalui hubungan harmonis sesuai
dengan tingkat perkembangan pribadi dan emosinya.

Pendekatan kedua adalah pendekatan moral agama. Hal ini dilakukan
dengan cara memberikan tauladan-tauladan kepada anak sesuai dengan
moral agama. Segi ucapan, perbuatan, pergaulan dan sikap hidup di rumah
tangga perlu dijiwai dengan nafas agama. Misalnya menyuruh anak
membiasakan membaca basamalah setiap memulai aktifitasnya dan hamdalah
ketika mengakhirinya.

Ketiga adalah pendekatan seremonial agama. Hal ini dilakukan agar anak
memiliki dorongan yang kuat untuk lebih mengembangkan minat agamanya.

Keempat adalah pendekatan akal. Hal ini dilakukan apabila anak telah
mulai berpikir kritis. Penanaman keyakina agama pada usia ini perlu
dibawakan secara lebih 'rasional', sesederhana mungkin dan jangan
menyulitkan anak.

Anak adalah suatu amanah yang dikaruniakan Allaah kepada hamba-Nya yang
dipilih. Amanah ini tidak sekedar pemberian tanpa tanggung jawab. Oleh
karenanya, pendekatan-pendekatan untuk menumbuhkan mental keagamaan
anak adalah suatu ikhtiar untuk melaksanakan amanah tersebut.
Pendekatan melalui 'love' dan 'respect' terhadap anak, perlu kita
tumbuhkan sebagai suatu kebiasaan agar anak kelak memiliki mental agama
yang tangguh.

Mohon do'anya, agar penulis mampu membentuk keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah yang melahirkan dzurriyyatan thayyibatan. Aamiin.


To my star,...semoga Iya'[ayah] mendidkmu dengan "A laf yu, yu waf mi".

Sumber bacaan: AlMuslimun no. 409.

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'lautern ,Nov 2004