Rabu, 08 Oktober 2008

Belajar dari Si 'Pedang Allaah'

Assalaamu'alaikum,

Bersikap ikhlash dalam setiap perilaku hidup kita memang tidak mudah.
Tidak semudah sebagaimana mengucapkannya dengan rangkaian kata-kata
yang indah. Untuk bersikap ikhlash, semata-mata mengharapkan keridhaan
Allaah swt, itu diperlukan landasan keimanan yang kokoh kepada-Nya,
karena keikhlashan ini terpancar dari lubuk hatinya. Hati yang telah
dipenuhi dengan akidah yang shahihah akan menjadi sumber yang subur
bagi tumbuhnya keikhlashan. Hati ini menjadi titik sentral dalam
menilai amal perbuatan seseorang, dan itu hanya bisa dilakukan oleh
Allaah swt. Sedangkan manusia terhadap sesamanya, tidak memiliki
kemampuan ini karena berbagai keterbatasannya. Manusia hanya bisa
menilai sesamanya berdasarkan aspek lahiriyahnya saja, bila hal itu
memang diperlukan. ?Nahnu nahkumu bi zhawaahir (Kita menghukum
(seseorang) berdasarkan lahiriyahnya saja[penulis])?, begitu anjuran
Rasulullaah saw ketika ada sahabat yang mencoba menilai hati seseorang.

Pernah Rasulullaah saw ditanya tentang orang yang berperang karena
ingin mendemonstrasikan keberaniannya, yang lain karena ingin
mati-matian membela kaumnya, dan yang satu lagi karena ingin namanya
populer dicatat dalam sejarah, siapa diantara mereka yang berjuang di
jalan Allaah? Rasulullaah menjawab,?Barangsiapa berjuang untuk
menegakkan Kalimah (Agama) Allaah yang luhur itu, maka dia itulah orang
yang berjuang di jalan Allaah?[ HR. Bukhari-Muslim]. Berjuang karena
menegakkan Agama Allaah dan mencari keridhaa-Nya, merupakan kunci
diterimanya amalan kita.

Marilah kita simak celah kehidupan seorang mujahid yang perlu kita
jadikan qudwah dalam soal keikhlashan, yaitu Khalid Ibnul Walid. Tentu
saja tinjauannya sebatas aspek lahiriyah saja. Soal hakikatnya
(kebenaran sejati) tentang keikhlashan Khalid, kita serahkan kepada
Allaah swt, Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Yang jelas, sekarang
ini kita kehilangan figur panutan dan pimpinan yang ikhlash dan jujur
yang mampu menggerakkan ummat menuju tegaknya 'Kalimatullaah Hiyal
'Ulya'.

Khalid Ibnul Walid yang pada mulanya memusuhi Islam dan kaum muslimin,
akhirnya berbalik menjadi penganut Islam yang setia, bahkan dengan
gigihnya ia berani menumpas musuh-musuh islam yang notabene
kawan-kawannya dulu sebelum dirinya masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, pada
awal tahun ke-8 H, dirinya menyatakan masuk Islam setelah akal sehatnya
mampu menangkap berbagai rahasia kebenaran Islam. Sebagai seorang
panglima perang yang berpengalaman, Khalid melihat adanya 'keajaiban'
dalam pasukan kaum Muslimin. Meski jumlah mereka relatif kecil
dibanding pasukan Quraisy, persenjataan dan pengalaman perang mereka
pun masih belum canggih, namun mereka senantiasa memperoleh kemenangan.
Bila mereka berada di tengah medan perang, mereka berpacu berburu untuk
meraih gelar kehormatan sebagai syahid. Mereka hanya mengenal dua
pilihan: hidup terhormat di bawah naungan Islam atau gugur sebagai
syahid.

Di sisi lain, Khalid melihat pula bahwa pertumbuhan dakwah Islam
bagaikan batu karang di tengah lautan. Semakin besar gelombang yang
menerpanya, semakin kokoh dan tegar. Semakin hebat perlawanan dan
tekanan kepada dakwah Islam, semakin kuat dan pesat pertumbuhannya.
Pengikut dan pendukungnya pun semakin bertambah. Inilah antara lain,
rahasia 'keajaiban' Islam yang ditangkap oleh akal sehat Khalid,
sehingga menggugah kesadarannya untuk memeluk Islam.

Kini Khalid telah menemukan jalan hidupnya yang benar, resmi berada di
barisan kaum Muslimin di bawah naungan komando Rasulullaah saw. Taqdir
Allaah, peluang emas pun datang. Peluang yang dimaksud adalah
pengerahan pasukan kaum Muslimin ke medan Muktah, untuk menghadapi
pasukan Romawi. Rasulullaah saw telah mengetahui akan kekuatan pasukan
yang akan dihadapinya. Karena itu, Rasulullaah saw lalu mempersiapkan
tiga orang komandan perang sekaligus. Pertama, Zaid bin Haritsah. Bila
ia gugur, diganti oleh komandan kedua, yaitu Ja'far bin abi Thalib.
Bila ia gugur pula, maka tampillah komandan ketiga yaitu Abdullaah bin
Rawahah. Sementara Khalid yang masih relatif baru keislamannya, menjadi
pasukan biasa (meskipun pengalamannya dalam berperang sangat banyak).

Perang pun dimulai. Ternyata, terjadilah apa yang telah diperkirakan
Rasulullaah saw. Satu persatu komandan yang telah ditunjuk Rasul
berguguran sebagai syahid. Dengan sendirinya bendera komando tidak ada
yang mengibarkannya. Pada saat kritis ini, tampillah Tsabit bin Arqam
mengambil inisiatif untuk menemui Khalid dan memintanya agar dia
bersedia tampil memegang bendera komando. Namun Khalid menolak, karena
masih ada di antara mereka orang yang berhak, baik dari kalangan
Muhajirin maupun Anshar terutama tokoh-tokoh yang pernah menyertai
Perang Badar. Lalu Tsabit bin Arqam meminta pendapat kaum Muslimin.
Ternyata mereka sepakat untuk menyerahkan bendera komando ke tangan
Khalid. Akhirnya dengan segala kerendahan hati Khalid pun menerima
amanah tersebut demi kejayaan Islam. Di bawah kepemimpinannya, Khalid
mampu mengendalikan dan menyelamatkan pasukan Muslimin yang nyaris
porak poranda. Sejak itulah Khalid diberi gelar oleh Rasulullaah saw
sebagai 'Saifullaah' (Si Pedang Allaah).

Di kali yang lain, pada masa pemerintahan Abu Bakar, Khalid juga
diberikan kepercayaan oleh Abu Bakar untuk menanggulangi kesulitan yang
dihadapi pasukan kaum Muslimin di medan Yarmuk (Syam). Padahal di
tengah-tengah mereka terdapat sejumlah pendekar terkemuka, antara lain
Abu Ubaidah bin AlJarrah, 'Amr bin 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan juga
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ketika tiba di Yarmuk, Khalid langsung
mengadakan pertemuan dengan para pendekar tersebut untuk mengatur
strategi dan taktik yang hendak dilakukannya. Yang menarik adalah
pidato yang disampaikannya kepada segenap kaum muslimin: ? Hari ini
adalah hari-hari Allaah. Karenanya, tidak patut kita di sini
berbangga-bangga apalagi berbuat durhaka. Marilah kita berjihad dengan
ikhlash, mendambakan keridhaan-Nya semata. Soal kepemimpinan bisa
dilakukan secara bergiliran. Hari ini bisa si Fulan, besok orang lain,
dan demikian seterusnya, sehingga seluruhnya berkesempatan untuk
menjadi pimpinan...!?.

Kepemimpinan bagi Khalid adalah amanah sebagai salah satu sarana untuk
beribadah. Dia bukanlah berkah yang harus diperebutkan. Kualitas ibadah
dan perjuangan tidak terletak pada kedudukan dan jabatan, tapi terletak
pada keikhlashan, kejujuran dan keshabaran. Apakah tampil sebagai
komandan atau prajurit, pimpinan atau bawahan, bagi Khalid sama saja.
Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Saat
itu Khalifah ingin melakukan pergantian sejumlah komandan perang.
Khalid yang kala itu sedang memimpin pasukan kaum Muslimin di medan
perang menghadapai tentara Romawi, termasuk yang akan digantikan.
Sebagai penggantinya, Khalifah menunjuk Abu Ubaidah AlJarrah. Begitu
perintah penggantian datang, Khalid pun segera menyerahkan
kepemimpinannya kepada penggantinya. Selanjutnya, Khalid tetap berada
di barisan terdepan meski menjadi prajurit biasa. Pelengseran dirinya
dari pimpinan, sedikitpun tidak mengurangi daya jihadnya di medan
juang. Itulah sosok Si Pedang Allaah yang ikhlash dalam berjuang.

Ditampilkannya kembali sosok Khalin Ibnul Walid dalam tulisan ini,
semoga dapat menggugah kesadaran dan mendorong kita untuk senantiasa
berjuang di jalan Allaah dengan menyertakan sikap Ikhlash dalam
perbuatannya. Menjauhkan diri kita dari perbuatan meyebut-nyebut
kebaikan kita kepada sesama, serta menjauhkan diri dari 'give and take'
ketika kita menolong sesama.

Wallaahu a'lam, kepada Allaah lah kita memohon ampunan.

*)Disadur dari AlMuslimun no. 392

Wassalaamu'alaikum,
I Do Y
K'Lautern, Nov 2004