Rabu, 08 Oktober 2008

Cinta sehidup semati, OK?

Assalaamu'alaikum,

Kata orang muda, cinta itu sulit didefinisikan namun tidak sulit untuk
diungkapkan. Katanya lagi, ungkapan cinta dapat saja disajikan melalui
materi, "zeg het met bloemen" misalnya, ataupun melalui rentetan kata
yang ditulis dalam sebuah lembaran/kartu dari hasil karya kita,
misalnya dalam lembaran thesis, " To my wife and my daughter for their
love, patience and understanding".

Adanya rasa cinta mencintai antara suami istri sangatlah diperlukan
dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Bahkan ia merupakan salah
satu modal utama dalam membina keharmonisan rumah tangga. Jika bahtera
rumah tangga kita selalu diselimuti oleh kebencian, diukir oleh
kemarahan, dan dirajut di atas benang kecemburuan yang berlebihan, maka
sudah pastilah bahtera kita akan menemui kerikil-kerikil tajam yang
kelak akan menghambat lajunya. Oleh karenanya, saling cinta dan kasih
sayang (mawaddah wa rahmah) yang merupakan karunia Ilahi, harus tetap
dijaga, dipelihara dan ditumbuh-kembangkan. Dengan mawaddah wa rahmah,
masing-masing pihak ingin saling menyenangkan dan membahagiakan, dan
masing-masing pihak saling menjaga dirinya dalam tindak maupun tutur
katanya, jangan sampai menyinggung atau melukai pihak lain. Alhasil,
dengan mawaddah wa rahmah berbagai persoalan yang dihadapinya akan
terasa mudah ditanggulangi, tiada bukit yang tidak bisa didaki, tiada
lembah yang tidak bisa dituruni, dan tiada lautan yang tidak bisa
diarungi.

Persoalannya, bagaimana merawat dan menumbuh-suburkan cinta tersebut?
Dengan menjalin cinta sehidup sematikah? Atau, sesudah ditinggal mati
oleh pasangannya, yang lain tidak akan kawin lagi dengan siapapun?
Tentu tidak demikian!

Cinta sejati tidak harus ditandai oleh ikatan janji sehidup semati.
Apalagi bagi seorang muslim yang telah berikrar "Sesungguhnya shalatku,
pengorbananku, hidup dan matiku sepenuhnya untuk mendambakan keridlaan
Allaah, Rabbul 'Alamiin". Cinta sejati bagi seorang muslim tidak boleh
bergeser sedikitpun dari landasan keimanannya kepada Allaah swt.
Kecintaannya kepada apa dan siapapun, termasuk kepada suami maupun
istri, tetap berorientasi kepada mendambakan keridlaan-NYa semata.
Bukan kepada keridlaan suami maupun istri. Mendambakan keridlaan Allaah
akan menuntun manusia ke arah kebaikan (ma'rufaat) dan menjauhkan dari
keburukan (mungkarat). Lebih dari itu, cinta yang berorientasikan
keridlaan Allaah akan menjadi 'aset' akhirat, karena ia akan merupakan
amal shalih. Berbeda halnya dengan cinta yang bersandarkan kepada
keridlaan manusia, belum tentu diridlai olehNya. Bahkan tidak jarang
kebahagiaan dan kesenangan manusia didominasi oleh 'mempertuhankan'
hawa nafsunya, yang pada gilirannya bisa bermuara kepada kesyirikan,
"Hidup dan matiku demi si Fulan/si Fulanah...", misalnya. Marilah kita
simak perjalanan hidup Ummul mu'minin yang satu ini bila dikaitkan
dengan persoalan cinta sehidup semati.

Sebelum menjadi istri Rasul, Ummu Salamah yang nama aslinya Hindun
binti Suhail, dipersunting oleh Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal yang
kemudian dikenal dengan julukan Abu Salamah. Gelar Ummu dan Abu Salamah
yang diberikan kepada mereka karena salah seorang dari empat anaknya
ada yang bernama Salamah. Ketika keluarga ini pergi berhijrak ke
Madinah, di tengah perjalanan anak kesayangannya (Salamah) dan ibunya
disandera oleh kaum dari kalangan sukunya sendiri, Bani Makhzum.
Penyanderaan ini mengundang amarah besar dari keluarga ayahnya, Bani
Asad. Peristiwa tersebut dikenal dengan 'Kasus Salamah", sehingga
Abdullah bin Asad kemudian dikenal dengan sebutan Abu Salamah. Demikian
pula denga Hindun binti Suhail dikenal dengan sebutan Ummu Salamah.

Suami istri ini termasuk sahabat Rasul yang amat setia. Keduanya
memiliki andil dalam mendukung perjuangan Rasul dalam melancarkan
da'wah Islam. Bahkan Abu Salamah pernah ditunjuk Rasul sebagai pemimpin
pasukan guna menghajar qabilahnya sendiri, Bani Asad, yang hendak
menyerang kaum muslimin usia perang Uhud.

Suatu ketika, sepulangnya dari pertempuran dengan Bani Asad, Abu
Salamah menderita sakit yang cukup parah. Sang istri, Ummu Salamah
dengan setia menungguinya. Rasul pun sering mengunjunginya. Ketika
kondisinya semakin kritis, untuk menunjukkan demikian cintanya kepada
sang suami, Ummu Salamah mengajaknya untuk saling berjanji:" Aku pernah
mendengar berita bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya,
kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga, bila
setelah ditinggal mati oleh suaminya dia tidak kawin lagi dengan
siapapun. Demikian pula halnya suami, setelah ditinggal mati oleh
istrinya. Oleh karena itu, marilah kita saling berjanji: Bahwa Anda
tidak akan kawin lagi seandainya aku meninggal dunia lebih dahulu. Dan
akupun berjanji kepada Anda, bahwa aku tidak akan kawin lagi bila Anda
mendahului aku!". Bagaimana reaksi Abu Salamah atas ajakan istrinya
itu?Adakah dia menyetujuinya? Dengan tenang Abu Salamah balik bertanya
kepada istrinya:"Maukah Anda mengikuti saranku?" Ummu Salamah
menjawab:"Baik, saya bermusyawarah untuk mentaati". Lalu Abu Salamah
berkata:"Seandainya aku meninggal lebih dahulu, aku mengharap sebaiknya
Anda kawin lagi. Dan Aku mohon kepada Allaah, semoga Anda memperoleh
suami yang lebih dari aku. Kemudian abu Salamah pun berdo'a: "
Allaahumma urzuq umma Salamata ba'diy rajulan khairan minniy, Laa
yuhzinuhaa wa laa yu'dziihaa" (Ya Allaah karuniakanlah kepada Ummu
Salamah sepeninggalku nanti, seorang lelaki (suami) yang lebih baik
daripadaku, dia tidak menyusahkannya dan tidak pula menyakitinya).

Alkisah, selang beberapa hari kemudian Abu Salamah meninggal dunia.
Setelah ditinggal mati suaminya, Ummu Salamah merenung sambil berkata
dalam hatinya:"Darimana aku bisa mendapatkan untuk diriku orang yang
lebih baik dari Abu Salamah?". Lalu ia pun berdoa,"Ya Allaah
karuniakanlah kepadaku pahala yang berkaitan dengan musibah menimpaku,
dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya". Tiba-tiba setelah
masa iddahnya berakhir, Rasulullaah datang menemuinya dan meminangnya.

Demikianlah kisah menarik dari celah kehidupan Ummu Salamah dengan
suaminya. Jadi cinta sejati bagi seorang muslim harus tetap beredar
pada poros akidahnya:Iman kepada Allaah serta mendambakan keridlaanNya.
Dengan demikian kecintaannya kepada siapapun hendaknya bisa menumbuhkan
amal shalih yang pada gilirannya membuahkan 'hayatan thayyibah'. Jadi
cinta sehidup semati bila perwujudannya menyimpang dari ketentuan dan
nilai syari'at Islam, tentu saja tidak bisa dibenarkan.

Wallaahu a'lam,
Dari berbagai sumber...

Wassaalaamu 'alaikum,

I Do Y
K'Lautern, Nov 2004