Rabu, 08 Oktober 2008

Daunnya berguguran

Assalaamu'alaikum,

Dunia ini memang fana. Segala sesuatu didalamnya tak pernah ada yang
abadi, seperti halnya di musim gugur ini. Suhu yang pada awalnya
tinggi, kini turun drastis menjadi setengahnya. Angin sepoi di musim
panas, perlahan ‘berlari’ menambah kecepatannya. Daun pepohonan yang
asalnya hijau kemilau, lambat laun mulai berguguran. Tak terkecuali
sang ‘evergreen’, meskipun dirinya tangguh menghadapi sang angin, namun
suatu saat nanti bencana alam ataupun tangan manusia akan
menaklukannya.

Tumbuh, berkembang, berbuah dan akhirnya layu, merupakan sunnatullaah
bagi sebuah tanaman yang senantiasa bertasbih kepada Sang Pemiliknya.
Berdasarkan sunnatullaah ini, alQur’an memberikan sebuah perumpamaan
kepada kaum yang memiliki jiwa sosial kepada sesamanya, perumpamaan
yang diperuntukkan bagi para dermawan. AlQuran telah menyampaikan bahwa
harta-harta yang dikeluarkan oleh kaum dermawan untuk ketaatan kepada
Allaah swt seumpama sebutir benih yang menumbuhkan benih-benih lainnya.
Allah swt telah berfirman, “Perumpamaan (infaq yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allaah adalah serupa
dengan sebutir benih (biji) yang menumbuhkan tujuh bulir (tangkai),
pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allaah melipat gandakan (ganjaran)
bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allaah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui” [AlBaqarah 261].

Secara fitrah hati manusia dihiasi dengan kecintaan terhadap apa-apa
yang diingininya (Asysyahwat), yaitu lawan jenis, keturunan atau
golongan, dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, uang, kendaraan
dan tanah yang luas. Sekiranya manusia telah diberikan satu bukit emas,
niscaya dirinya akan meminta bagian keduanya. Padahal, Allaah telah
menjelaskan bahwa semuanya itu adalah hiasan dunia yang bersifat fana.

Islam adalah adDin yang mengatur fitrah manusia, dan mengajarkan
keseimbangan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Hal penting yang
diatur oleh ajaran Islam dalam perguliran harta adalah agar harta
tersebut tidak hanya beredar di kalangan kaum hartawan saja [AlHasyr
7]. Oleh karenanya, ajaran Islam mewajibkan pemeluknya yang berlebih
untuk mengeluarkan sebagian hartanya kepada mereka yang membutuhkan.
Salah satu bentuk pengeluarannya adalah infaq.

Kata Infaq (nafkah) berasal dari anfaqa-yunfiqa-infaaqan [wallaahu
a’lam], yang berarti mengeluarkan sesuatu untuk kepentingan sesuatu.
Kaum kafirin biasanya berinfaq dengan tujuan untuk menghalangi kaum
muslimin dari berbuat kebaikan, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu, menginfaqkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan
Allah…”[AlAnfal 36]. Sedangkan kata infaq secara istilah adalah
mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan Islam, tanpa dibatasi
jumlah minimal mengeluarkannya.

Berdasarkan alBaqarah ayat 261, Allaah swt telah menjanjikan kepada
kaum dermawan untuk menumbuhkembangkan kebaikannya, sebagaimana
tumbuhnya sebuah tanaman yang memberikan manfaat kepada pemiliknya;
sebutir biji akan menumbuhkan 7 tangkai, setiap tangkainya akan
membuahkan 100 biji lainnya. Namun, bila tidak dipelihara dan tidak
dijaga, ‘tanaman’ tersebut dalam perjalanannya dapat tehinggapi hama
penyakit. Biji yang semula menumbuhkan tangkai berdaun subur,
tangkainya perlahan mengering, layu, kemudian daunnya berguguran.

Di dalam alQur’an, selain riya, setidaknya ada dua penyakit yang dapat
menyebabkan ‘daun subur’ tersebut cepat layu dan berguguran, tidak
membuahkan biji-biji lainnya. Penyakit tersebut adalah alManna dan
alAdzaa.

AlManna berasal dari kata manna-yamunnu-mannan wa minnatan [wallaahu
a’lam], yang memiliki arti menyebut-nyebut kebaikan. Seorang dermawan
yang memberikan sebagian harta kepada yang membutuhkan, kemudian dia
membangkit-bangkitkan kebaikannya baik secara langsung kepada si
penerima maupun tidak, baik melalui ucapan ataupun perbuatan [misalnya
tulisan], maka hapuslah segala kebaikan [pahala infaq] yang pernah
diperbuatnya. Sedangkan menyebutkan kebaikan seseorang dengan tujuan
untuk pendorong bagi lainnya dalam berinfaq adalah diperbolehkan,
selama penyebutan itu mampu menjaga hati si pemberi dari sifat riya
[ingin dilihat] dan sum’ah [ingin didengar]. Ibnu Umar r.anhu telah
meriwayatkan bahwa Nabi saw. Telah bersabda, ‘Tidak ada sifat iri yang
dibenarkan kecuali terhadap dua orang; terhadap orang yang diberikan Al
Qur'an dan dia membacanya di waktu malam dan di waktu siang dan
terhadap orang yang dikaruniai harta benda dan dia menafkahkannya
dengan baik di waktu malam dan di waktu siang’[H. Muslim]. Namun yang
terbaik adalah menyebutkannya tanpa menunjuk langsung si pelakunya,
misalnya dengan sebutan hamba Allaah. Dari Asma binti Abu Bakar r.anha.
ia berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda kepadaku, 'Berinfaklah dan
tidak usah menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya
untukmu' [H. Muslim].

AlAdzaa berasal dari kata adziya-ya’dzaa-adzaa wa adzaatan [wallaahu
a’lam], yang memiliki arti kesakitan. Seorang dermawan memberikan
sebagian hartanya kepada yang membutuhkan, kemudian dia mengiringi
pemberiannya dengan kata-kata yang menyakitkan si penerimanya merupakan
bentuk dari alAdzaa. Bentuk alAdzaa lainnya adalah seseorang yang
mendermakan hartanya di dalam sebuah urusan, kemudian dia ingin
melakukan kekuasaanya di urusan tadi lantaran dermanya, sehingga tak
jarang dia harus berbuat yang menyakitkan orang di sekitarnya. AlQur’an
telah menjelaskan bahwa ucapan penolakan yang baik dan penutupan
rahasia orang yang meminta derma adalah lebih baik daripada shadaqah
yang diiringi dengan alAdzaa [alBaqarah 263]. Dalam ayat ini alQur’an
menyebutkan shadaqah sebagai penganti infaq, karena shadaqah memiliki
makna yang luas, tidak hanya pengeluaran harta, melainkan termasuk
semua jenis kebaikan; Bertindak adil di antara dua orang adalah
shadaqah, membantu orang lain naik keatas hewan tunggangannya atau
menaikkan barang-barangnya ke atas punggung hewan tunggangannya adalah
shadaqah, perkataan yang baik adalah shadaqah, setiap langkah menuju
salat adalah shadaqah, menyingkirkan sesuatu yang membahayakan dari
jalan adalah shadaqah, dll.

Ramadhan adalah bulan latihan. Selama bulan tersebut, pemikiran dan
fisik kita dididik dengan tujuan meraih gelar taqwa. Ramadhan merupakan
stimulus agar kita bisa mewarnai amalan di bulan lainnya dengan amalan
di bulan ramadhan. Salah satu sasaran shaum ramadhan yang dapat
dijadikan tolok ukur keberhasilan alumni ramadhan adalah menumbuhkan
sifat dermawan. Jangan biarkan kebaikan yang telah kita tanam seperti
batu licin yang diatasnya ada pasir, kemudian ditimpa hujan lebat yang
menjadikan batu tersebut licin kembali, atau seperti tanaman yang
berpenyakit, tangkainya mengering, layu dan daunnya berguguran.
Usahakanlah kebaikan yang kita telah kerjakan seperti tanaman yang
tumbuh di kebun subur, kemudian ditimpa hujan lebat lalu mengeluarkan
hasil yang berlipat. Sekiranya hujan lebat tak menimpanya, maka hujan
abu pun cukuplah.

Sekiranya kita dikaruniai kelebihan harta oleh Sang Maha Kaya,
maka sadarilah bahwa ada bagian dari harta kita yang mesti
dimiliki oleh orang lain yang membutuhkan. Sadarilah pula bahwa setiap
insan pasti ada kekurangannya. Mungkin saja tanpa disadari kita pernah
menggugurkan ‘daun-daun’ dari benih yang kita tanam. “Sesungguhnya
kebaikan itu menghapuskan keburukan”. Marilah kita Beristigfarlah dan
bersimpuhlah di hadapanNya. Wallaahu a’lam.

-Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.anhu, bahwasannya Nabi saw adalah orang
yang dermawan dengan kebaikan, dan Beliau lebih dermawan lagi manakala
memasuki bulan ramadhan [R. Bukhari].-


Dari obrolan ifthaar di Helmond,

Wassalaamu’alaikum,
I Do Y
Eindhoven 2003