Rabu, 08 Oktober 2008

Shilaturrahim

Assalaamu'alaikum,

Shilaturrahim secara bahasa berasal dari kata Shilah yang berarti menyambung/menghubungkan, dan Rahimun yang berarti peranakan (rahim ibu), persaudaraan, hubungan nasab. Secara sederhana shilaturrahim dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan baik dengan ‘menyambungkan tali persaudaraan’ kepada sesama sebagai bukti kemuliaan jiwa, kebaikan hati dan ungkapan cinta kasih. Orang yang melakukan shilaturrahim disebut AlWaashil.

Shilaturrahim merupakan ciri kesempurnaan iman seseorang, sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra bahwasannya telah bersabda Rasulullaah saw, ”… Dan barangsiapa yang beriman kepada Allaah swt dan hari akhir, maka sambungkanlah rahim (bershilaturrahimlah)…”. [Fathul bariy, hadits no. 6138]. Hadits-hadits yang diawali dengan kalimat ‘barang siapa beriman kepada Allaah swt dan hari akhir , maka …”, misalnya maka muliakanlah tetangganya atau maka muliakanlah tamunya, menunjukkan bahwa amalan-amalan tersebut merupakan bentuk-bentuk perangai yang dapat dijadikan ukuran bagi kualitas keimanan seseorang. Ketika seseorang tidak mampu melakukannya, maka berkuranglah kadar imannya. “Iman itu seperti AlQamiish (pakaian), sesekali orang memakainya (pakaian) dan sesekali orang menanggalkannya” (riwayat Abdullaah bin Rawahah dan abu Darda ra). Iman seseorang akan bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Shilaturrahim merupakan amalan yang dapat menyambungkan seseorang dengan pahala surga. Ketika seorang arab datang menghampiri Nabi saw dan memohon untuk diberikan wasiat yang dapat mendekatkannya kepada pahala surga dan menjauhkannya dari siksa neraka, maka Nabi saw memerintahkan bersilaturrahim sebagai salah satu wasilahnya, ”Berbaktilah kepada Allaah swt dan jangan mempersekutukannya dengan sesuatupun, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan bershilaturrahimlah” [Aladab-Almufrad, hadits no. 49].

Allaah swt akan menyambungkan (memberikan rahmat dan ridhonya) kepada mereka yang bershilaturrahim. Dari abdurrahman bin Auf ra, sesungguhnya dia telah mendengar Rasulullaah saw bersabda,” Allaah azza wa jalla telah berfirman: Aku adalah Arrahman, dan Aku telah menciptakan Arrahim, dan Aku membagi kepadanya dari namaKu, barangsiapa yang menyambungkannya, maka Aku akan menyambungkan (ArRahman) kepadanya, dan barangsiapa yang memutuskannya, Aku akan putuskan (ArRahman) kepadanya” [Aladab-Almufrad, hadits no. 53].

Seseorang yang senatiasa menjaga shilaturrahim maka akan diluaskan rizkinya, dipanjangkan umurnya dan dicintai oleh keluarganya [AlAdab Almufrad, hadits no.59]. Maksud dari dipanjangkan umurnya, selain dari arti dzahirnya menurut Ibnu Hajar adalah kinayah bagi umur yang barakah (di dunia dan akhirat) dikarenakan menggunakan umurnya tersebut dengan amalan keta’atan kepada Allaah swt yang bermanfa’at untuk kepentingan akhirat.

Bershilaturrahim merupakan cerminan akhlaq baik seseorang kepada sesamanya. Berdasarkan QS 4:36, ada lima kelompok manusia yang berhak untuk disambungkan ‘rahim’nya. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kesamaan pernasaban, yaitu orang tua dan saudara-saudara terdekat. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa memberikan shadaqah kepada orang miskin adalah (mendapatkan pahala) shadaqah, dan kepada saudara dekat adalah (mendapatkan pahala) shadaqah dan shilaturrahim.

Kelompok kedua adalah mereka yang memiliki kelemahan, yaitu anak yatim dan orang miskin. Anak yatim memiliki kelemahan badannya [kuasanya] dikarenakan mereka telah ditinggalkan mati oleh orang tuanya [ayahnya] dan terputus dari nafkah keluarganya. Orang miskin memiliki kelemahan atas kekurangan hartanya.

Kelompok ketiga adalah mereka yang dikenal melalui pergaulan, yaitu Aljar dzilQurbaa (tetangga dekat), Aljar dziljunub (tetangga jauh) dan Ashshaahib biljanbi (sahabat sejalan). Para ulama berbeda penafsiran mengenai maksudnya. Sebagian diantaranya menafsirkan tetangga dekat sebagai mereka yang tempat tinggalnya dekat, sedangkan tetangga jauh adalah mereka yang tempat tingalnya jauh. Menurut Azzuhri ukuran tetangga dekat adalah 40 rumah dari depan belakang dan samping rumah. Sebagian ulama mengartikan tetangga dekat adalah kaum muslimin, sedangkan tetangga jauh adalah orang Yahudi dan Nashrani (yang tidak menampakkan permusuhan). Sedangkan sahabat sejalan, sebagian ulama menafsirkannya sebagai istri (pasangan suami), sebagian lagi sebagai sahabat/kawan satu perjalanan (arrafiiq fisafar).

Kelompok keempat adalah mereka yang kehabisan perbelanjaan dalam perjalanannya, yaitu Ibnu Sabil (anak jalan). Mereka adalah musafir yang kehabisan bekalnya. Sebagian ulama menambahkan bahwa mereka adalah musafir yang mampir sebagai tamu sementara di rumah seseorang. Pendapat lain menambahkan kepadanya anak-anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya dan orang–orang yang mengembara buat keperluan Islam dan kaum muslimin.

Kelompok kelima adalah mereka yang dimiliki kemerdekaannya (Hamba sahaya). Ketika di penghujung ajalnya, Rasulullaah saw mewasiatkan agar berlaku baik kepadanya,” Shalat, shalat, dan apa-apa yang menjadi kuasamu (hamba sahaya)” [Ibnu Majah, Ahmad dll]

Amalan yang berlawanan dengan shilaturrahim adalah qath’urrahim (memutuskan hubungan). Orangnya disebut AlQaathi’. Diriwayatkan dari Jubair bin Muth’im ra, sesungguhnya dia mendengar Rasulullaah saw bersabda,” Tidak masuk surga, qaathi’urrahim (pemutus rahim)”. [AlAdab AlMufrad, hadits no.64]. Dalam kitab yang sama ( hadits no.63, hadits dhaif menurut AlBani) disebutkan bahwa sesungguhnya rahmat Allaah tidak akan diturunkan kepada kaum yang padanya terdapat qaathi’urrahim.

Saling menutup aib, berani mema’afkan atas kesalahan orang lain (sebagaimana kisah Yusuf as), berbaik sangka, tidak menghina dan meremehkan merupakan contoh-contoh praktis yang dapat dilakukan sebagai wujud dari shilaturrahim. Bahkan, sekedar menampakkan muka berseri kepada saudara kita sudah tercatat sebagai alma’ruf (kebaikan),” janganlah kalian meremehka sebuah kebaikan, walaupun engku bertemu saudaramu dengan menampakkan muka berseri,”[Mukhtashor Shahih Muslim, hadits no. 1782]. Dalam riwayat Tirmidzi dijelaskan bahwa Rasulullaah saw telah bersabda, “ Bukanlah alWaashil itu (menyambungkan rahim) kepada yang setara, akan tetapi dia adalah orang yang apabila diputuskan hubungannya maka dia akan menyambungkannya.”

Hidup ini tidak senantiasa ‘lembut’, terkadang kita harus melewati ‘kerikil-kerikil’ yang menghadang di perjalanan. Seseorang datang kepada Rasulullaah saw dan mengadukan perillaku kerabatnya. Sesungguhnya dia memiliki kerabat, dia telah berupaya bershilaturrahim kepadanya tetapi mereka memutuskannya, dia telah berupaya berbuat baik kepadanya tetapi mereka membalasnya dengan keburukan, mereka telah berlaku jahil kepadanya tetapi diriknya tetap berlaku santun kepada mereka”. Kemudian Rasulullaah saw bersabda,”Sekiranya mereka sebagaimana yang engkau katakan, maka sesungguhnya engkau telah memasukkan ke mulut mereka bara panas, dan senantiasa bersamamu pertolongan dari Allaah jika engaku tetap melakukannya,” [AlAdab AlMufrad, hadits no. 52].

Shilaturrahim tidaklah menuntut penyediaan waktu khusus, misalnya di waktu lebaran saja. Akan tetapi kapan dan dimanapun maka kita bisa melaksanakannya. Mudah-mudahan kita senantiasa mampu untuk menjaga hubungan ‘rahim’ diantara kita..

Sumber: AlAdab AlMufrad (Imam Bukhari), SubulusSalaam (AshShan’aani), Fathul Bariy (Ibnu Hajar), Tafsir AlQur’an (Ibnu Katsir), Jaami’ Al’Ulum wa AlHikam (Ibnu Rajab).

Wassalaam,
I Do Y

Eindhoven 050103