Rabu, 08 Oktober 2008

KRITIK TERHADAP HERMENEUTIKA AL-QURAN

Oleh : A.Yamani Syamsuddin*

Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan
problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika
pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah
atau keagamaan.

Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu
a`lam bi muradihi" (Allah yang mengetahu maksudnya). Tetapi ini
tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu,
sedikit demi sedikit sikap itu berubah dan para mufasir akhinya beralih
pandangan dengan jalan menggunakan ta`wil, tamsil atau metafora.
Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan
pen-ta`wil-an yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya.


Al-Jahiz (225H/88M) seorang ulama beraliran rasional dalam bidang
teologi, dinilai sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran
metaforis. Ia tampil dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis
pada ayat-ayat Al-Quran. Dan dalam hal ini, harus diakui bahwa dia
telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan,
sehingga mampu menyelesaikan sekian banyak problem pemahaman keagamaan
atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihadapi itu.

Tokoh lain dalam bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni Ibnu Qutaibah
(276H/889M). Tokoh ini bukanlah penganut aliran rasional dan bahkan
dinilai sebagai "juru bicara Ahl As-Sunah". Namun, dia menempuh
cara-cara gurunya dan mengembangkannya dalam rangka memahami teks-teks
keagamaan.

Tentunya kita tidak dapat menggunakan ta`wil tanpa didukung oleh
syarat-syarat tertentu. Asy-Syatibi mengemukakan dua syarat pokok bagi
pen-ta`wil-an ayat-ayat Al-Quran :

Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui
oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal
oleh bahasa arab klasik (turats).

Syarat yang dikemukakan ini lebih ringan dari syarat kelompok
Al-Zahiriah yang dinyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus
telah dikenal secara populer oleh masyarakat arab pada masa awal.

Dalam syarat Asy-Syatibi diatas, terbaca bahwa popularitas arti
kosakata tak disinggug lagi. Bahkan lebih jauh lagi Asy-Syatibi
menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus atau musytarak (
mempunyai lebih dari satu makna yang kesemua maknanya dapat digunakan
bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan
lainnya).

Aliran tafsir Muhammad Abduh mengembangkan lagi syarat pen-ta`wil-an,
sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan
dicukupkannya selama ada kaitan makna pen-ta`wil-an dengan kata yang
di-ta`wil-kan. Karena itu kata jin yang berarti "sesuatu yang
tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha "sebagai kuman yang
tertutup" (yang tidak terlihat oleh pandangan mata).

Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi` yang secara tegas
menyatakan bahwa "pengetian kata jin tidak harus dipahami sebatas pada
apa yang dipahami tentang makhluk-makhuk halus yang "tampak" pada saat
ketakutan seseorang pada malam hari atau ilusinya". Tetapi,
pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup
di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau dan yang berada
diluar alam manusia dimana kita berada.

Ta`wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam
memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan dewasa ini dan
masa-masa yang akan datang.

Sebelum menutup tulisan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah
tepat men-ta`wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan
akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat,
lebih-lebih bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan.
Karena hal ini berarti mengabaikan ayat-ayat itu sendiri. Wallahu a'lam


* Penulis adalah Mahasiswa Faculty of Islamic Studies and Arabic
lenguages' of al-Azhar University Cairo Egypt.