Rabu, 08 Oktober 2008

Biasa-biasa saja

Assalaamu'alaikum warahmatullaah,

Allaah swt telah berfirman dalam surat Faathir [35] ayat 32: "Kemudian Kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba
Kami, lalu di antara mereka ada yang 'dzaalimun linafsihi' dan di antara mereka
ada yang 'muqtasidun' dan di antara mereka ada (pula) yang 'saabiqun
bilkhairaat' dengan izin Allaah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar."

Dalam ayat 31 Allaah swt menegaskan bahwa AlKitab [Alqur'an] adalah AlHaq,
sesuatu yang benar dan membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Kemudian dalam ayat 32 Allaah swt telah mewariskan[memberikan] Alkitab tsb
[AlQur'an] kepada orang-orang yang dipilih dari hamba-hambanya. Telah berkata
'Ali Ibnu Abii Thalhah dari jalan Ibnu 'Abbas ra bahwa yang dimaksud dengan
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami" adalah ummat Muhammad saw. Selanjutnya Allaah
swt menjelaskan bahwa hamba-hamba yang diwarisi AlKitab tsb terbagi menjadi
tiga kelompok.

Kelompok pertama adalah mereka yang termasuk kepada 'Adz-dzaalimu linafsihi.
Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang[haram]. Telah berkata Ibnu Abii Haatim dari
jalan Ibnu Abbas ra bahwa yang dimaksud kelompok ini adalah golongan
Kafir(juga pendapat Ikrimah dari jalan Abu Hurairah ra). Menurut Maalik dari
jalan Zaid ibnu Aslam, bahwa kelompok ini adalah golongan Munafiq. Menurut Ibnu
Abii najiih dari jalan Mujaahid, kelompok ini adalah Ashhabul Masyamah(golongan
kiri) [56:9]. Para mufassir berbeda pendapat mengenai golongan ini. Sebagian
berpendapat bahwa kelompok ini bukan dari Ummat Muhammad saw. Sebagian lagi
sebaliknya. Pendapat yang paling shahih adalah pendapat yang mengatakan bahwa
kelompok ini termasuk bagian dari ummat Muhammad saw.

Kelompok kedua adalah 'almuqtasidu'. Mereka adalah yang menunaikan
kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram, tetapi mereka juga
meninggalkan perkara yang sunnah[disukai] dan tetap melaksanakan sebagian
perkara yang tidak disukai[makruh].

Kelompok ketiga adalah ' Assaabiqu bilkhairaat', mereka adalah
yang senantiasa melakukan perbuatan yang wajib dan sunnah serta meninggalkan
perkara yang haram dan makruh.

Telah berkata 'Ali Ibnu Abii Thalhah dari jalan Ibnu 'Abbas ra berkaitan dengan
ayat diatas bahwa ' Allaah swt telah memberikan
Alkitab yang diturunkan kepada hambanya, maka sebagian menjadi 'Adzdzaalimu'
dan Allaah mengampuninya, sebagian menjadi 'Al-muqtasidu' dan Allaah menghisab
mereka di yaumil qiyamah dengan hisaaban yasiira (hisab yang mudah), sebagian
menjadi 'Assaabiqu' dan Allaah "mempersilakan" mereka memasuki syurga tanpa
hisab.'

Telah berkata Abu Alqaasim Aththabranii dari jalan Ibnu 'Abbas, bahwa pada
suatu hari Rasulullaah saw telah bersabda:"Syafa'atku bagi 'Ahlu AlKabaair"
dari ummatku". Ibnu 'Abbas ra berkata, Assaabiqu bilKhairaat memasuki syurga
tanpa hisab, dan AlMuqtasidu memasuki syurga karena Rahmat Allaah swt, dan
Adzdzaalimu li nafsihi dan 'Ashhaabul A'raaf(*) memasuki syurga dengan
syafaa'at Muhammad saw." Ibnu 'Abbas, AlHasan dan Qatadah menambahkan bahwa
pembagian kelompok yang disebutkan dalam surat ini [Faathir 32] serupa dengan
firman Allaah swt dalam AlWaaqi'ah 8-10.

Dalam sebuah terjemah Alqur'an, 'dzaalimun linafsihi' adalah mereka yang
menganiaya diri mereka sendiri , 'muqtasidun' adalah mereka yang pertengahan
dan 'saabiqun bilkhairaat' adalah mereka yang lebih dahulu berbuat kebaikan.
Ustadz A. Hassan dalam tafsir Alfurqannya meberikan catatan bahwa 'muqtasidun'
itu adalah mereka yang tidak bertambah dalam melakukan kebaikan dan tidak pula
berkurang dalam melakukan kejelekan, senantiasa tetap.

Dalam kehidupan sehari-hari, barangkali kita sering menemukan sahabat kita
mengatakan bahwa," ah..saya mah jadi muslim yang biasa-biasa saja". Setidaknya
pernyataan ini menggelitik hati kita untuk balik bertanya,"Yang bagaimana sih
yang namanya muslim biasa-biasa saja itu?". Istilah 'biasa-biasa saja"
barangkali sah-sah saja digunakan seseorang tatkala dia bermaksud 'tawadhu'.
Tetapi, manakala istilah tersebut digunakan dengan tujuan lain misalnya karena
merasa "tidak nyaman' manakala melihat sahabat kita tamat membaca qur'an dalam
waktu sebulan atau rajin melakukan shalat tahajjud atau memakai jilbab, maka
istilah tersebut tentunya kurang pada tempatnya. Kalau boleh saya meminjam
istilah dan "disarankan" untuk menjodohkan istilah/kelompok dalam surat di
atas dengan istilah ditemukan sehari-hari tadi, maka tampaknya saya akan
meletakkan istilah "luar biasa" kepada Assaabiqu" dan "biasa-biasa saja"
kepada AlMuqtasid [untuk yang sisanya saya belum tahu istilah yang cocok].
Tetapi kemudian ada masalah yang menganjal dalam hati saya, sekiranya kita
mengetahui bahwa yang "luar biasa" itu lebih baik kemudian kita boleh menawar,
apakah kita masih memiliki keberanian untuk men-declare bahwa kita ingin
memilih yang 'biasa-biasa saja'? apakah memang betul yang kita pilih itu yang
"biasa-biasa saja", sementara kita masih banyak meninggalkan yang wajib dan
sunnah[menurut kriteria almuqtasidu]?
Wallaahu a'lam..

Yang benar datangnya dari Allaah, yang salah karena kekurangan
penulis....


(*) Menurut surat Al A'raaf 46-48, bahwa diantara syurga dan neraka terdapat
sebuah tempat yang dinamakan Al A'raaf. Penghuni tempat ini dinamakan Ashhabul
A'raaf. Menurut catatan ustadz A.Hassan dalam tafsirnya bahwa mereka ini adalah
yang seimbang hisabnya antara kebaikan dan kejelekan. Mereka akan tergoda untuk
menjadi penghuni syurga sekaligus mereka akan takut bila menjadi penghuni
neraka [mungkin ini yang disebut dengan siksaan bathiniyah dari Allaah swt].

Sumber:Tafsir Ibnu Katsir dan terjemah AlFurqan.
----
Wassalaamu'alaikum,

I Do Y
senantiasa bertadabbur dan bertafakur
Eindhoven 2002